Foto ilustrasi Filter Bubble (Sumber: Budi Wijayarto/https://www.linkedin.com/)
Pernahkah kalian berpikir media sosial yang kalian gunakan seperti memahami apa yang kalian butuhkan dan inginkan? Sebagai contoh ketika kalian menyukai suatu konten di Instagram, di laman explore akan muncul beberapa konten yang serupa lainnya. Dalam sebuah penelitian, ditemukan bahwa sekitar 84,9% pengguna Instagram dan 82,9% pengguna Facebook di Indonesia menyadari bahwa algoritma memiliki pengaruh besar terhadap pengalaman mereka di platform tersebut. Data ini menunjukkan bahwa mayoritas pengguna memahami bahwa algoritma berperan dalam menentukan konten yang mereka lihat. Jadi, Bagaimana hal tersebut dapat terjadi?Â
Aktivitas kita di sosial media akan tercatat oleh sistem dan membentuk sebuah algoritma yang akan memahami apa yang kita suka, yaitu "Filter Bubble". Eli Pariser seorang aktivis internet dan penulis buku mengemukakan Filter Bubble pertama kali dalam sebuah seminar TEDTalks di California pada tahun 2011, dia mengatakan bahwa "dunia informasi milik setiap orang, yang unik dan bergantung bagaimana perilaku orang tersebut di Internet" (Pariser, 2011a). Filter Bubble merupakan algoritma sistem yang membuat penggunanya mendapatkan konten sesuai aktivitas mereka ketika menggunakan media sosial.Â
Â
Algoritma Filter Bubble mungkin terdengar biasa dan justru akan mempermudah kita saat menggunakan media sosial, Namun algoritma ini dapat berdampak negatif bagi kita. Menurut Penelitian Achmad Ariq Romadlona dan Agus Triyono, Filter Bubble menyebabkan pengguna terisolasi dalam 'gelembung' informasi yang homogen dan memperkuat pandangan mereka sendiri tanpa melihat sudut pandang yang berbeda. Fenomena ini disebut Echo Chamber.
Dilansir dari GCF Learn (2019), echo chamber atau ruang bergema adalah lingkungan di mana seseorang hanya menemukan informasi atau pendapat yang mencerminkan dan memperkuat pendapat mereka sendiri.Â
Echo Chamber dapat memicu bias kognitif, disaat pengguna mempersempit cara pandang mereka dari suatu topik. Hal ini terjadi karena sistem akan mempertemukan para pengguna yang memiliki kesukaan yang sama. Para pengguna yang mengalami echo chamber akan percaya dengan pendapat mereka, namun kenyataannya hal tersebut belum tentu benar karena pendapat mereka hanya berputar dalam lingkup mereka saja.Â
Filter Bubble dan Echo Chamber keduanya memiliki efek domino. Sistem akan menyuguhkan pengguna dengan apa yang mereka sukai, lalu akan dikumpulkan dengan pengguna lain yang memiliki topik kesukaan yang sama. Pengaruh lainnya dari echo chamber adalah dapat mematikan kreativitas, membuat seseorang menjadi berpikiran sempit, dan dapat memicu bias kognitif (kesalahan otak dalam berpikir akan suatu topik). Hal tersebut bisa menjadi berbahaya jika pengguna tidak segera menyadarinya. Semakin lama, orang-orang akan semakin terpolarisasi karena tidak bisa berdialog dengan orang yang memiliki topik berseberangan. Mereka akan cenderung mengamini secara penuh topik yang mereka dukung karena substansi dari topik tersebut sudah mereka konsumsi berkali-kali sehingga menjadi kepercayaan yang sulit diubah. (Wulandari, Rullyana, Ardiansah, 2021)
Â
Algoritma media sosial tidak akan pernah berhenti atau dihilangkan, pengguna media sosial memiliki peran besar dalam memilih topik di lingkup internet mereka. Selektif dalam pemilihan konten yang berkualitas dan tidak sangat penting untuk dilakukan bagi kita pengguna aktif media sosial agar tidak menjadi bias bagi kita sendiri. Selain itu memiliki kebiasaan untuk selalu mengecek ulang informasi yang kita dapat di platform lain atau dari sudut pandang yang berbeda juga perlu untuk dilakukan.Â
Reference: