Mohon tunggu...
Titi Haryati
Titi Haryati Mohon Tunggu... -

lecturer at SMA Neg 1 Sinjai Selatan-Sinjai, South SUlawesi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Ibu, Kutitip Rinduku pada Gerimis yang Terpaku di Ranting Pohon

22 Desember 2013   03:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:39 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

IBU, KUTITIP RINDUKU PADA GERIMIS YANG TERPAKU DI RANTING POHON

Ibu, apa kabarmu malam ini? Tiba-tiba aku ingin sekali berbincang denganmu seperti dulu lagi, ketika jarak diantara kita tak pernah kita pertimbangkan, ketika waktu yang menguntit kita tak pernah kita sadari, ketika perasaan rindu diantara kita belum lagibermakna. Ah!

Malam ini sangat dingin, bu. Juga hening. Di sini, di tempatku bersama suami dan anak-anak melakoni hari demi hari untuk mengantar mimpi-mimpi mereka menjadi nyata. Persis seperti yang telah engkau lakukan padaku dulu. Terima kasih tak berbatas ya, bu.

Gerimis yang jatuh satu persatu ke tanah semakin menjadikan suasana malam ini semakin beku. Alam di sekelilingku seolah enggan bergerak persis mengikuti suasana perasaanku yang sangat rindu berbincang seperti dulu lagi.

Maafkan anakmu ini bu, ya!sekian lama berada di dekatmu, baru kali inilah terbersit keinginan mengungkapkan beribu-ribu rasa terima kasih yang seharusnya sejak dulu kulakukan. Ketika berjauhan seperti inilah, terasa betapa keberadaanmu sangat berarti untukku.

Ibu, tahukah engkau? Di saat sedang menatap anak-anakku yang pancarkan ketenangan dalam lelap mereka seperti sekarang ini, rasa sayang yang kumiliki serasa membumbung melebihi kadar rasa sayangku yang normal. Dan kini, saat rasa rinduku tengah teraduk-aduk oleh bening wajahmu, aku diliputi oleh keterhenyakan yang berlipat-lipat; beginilah rupanya dirimu telah memperlakukanku dulu. Terima kasih duhai ibu. Seperti tak ingin berhenti ungkapan tulus ini kupersembahkan kepadamu meski seharusnya sejak dulu telah aku lakukan.

Ibu, serupa melihat pantulanmu di cermin saat bercengkerama dengan kelima permata hatiku, cucu-cucumu. Memperlakukan mereka seolah menapaktilas perjuanganmu membesarkanku, betapa limpahan cintamu yang tak bertepi telah kau kerahkan untuk kebahagiaanku. Sementara di benakku selalu terbetik pemikiranku yang keliru tentangmu.

Masih jelas dalam ingatanku ketika di SMP dulu, aku diutus sekolahku untuk mengikutilomba MTQ antar pelajar sekabupaten. Dalam pikiranku yang polos, engkau pasti gembira menyambut berita ini. Bagimana tidak, menjadi Qari’ah bukanlah hal yang mudah kan? Pun kemudahanku melafalkan ayat-ayat suci Al-Qur’an ini adalah hasil dari ajaranmu yang telaten kepadaku.

“Nggak bisa diganti dengan yang lain, ya?” tanyamu kepadaku yang membuatku sangat terkejut.

Mengapa engkau menginginkanku diganti sementara aku begitu antusias mengikutinya. Aku sangat kecewa kepadamu. Ternyata kau tidak mendukungku untuk berkembang lebih maju. Aku kemudian mengurung diri di kamar dan mogok makan ketika itu. Mungkin karena tak tega melihatku bersedih berkepanjangan dan takut akan efek buruk yang akan menimpaku jika tak makan, akhirnya kau mengizinkanku juga.

Alangkah bahagianya aku. Waktu yang tersisa selama dua minggu kupergunakan untuk berlatih seintens mungkin. Tak ada waktu yang kubuang sia-sia kecuali hanya untuk berlatih mengaji dan mengaji. Tak sekalipun kupedulikan dirimu yang ternyata sibuk mempersiapkan busana yang akan kukenakan untuk acara lomba nanti. Hal itu kemudian baru kuketahui ketika suatu malam aku terbangun oleh suara mesin jahit yang bising di tengah malam. Sungguh aku sangat terganggu malam itu karena baru saja menyelesaikan latihan mengaji tahap akhir dan aku butuh istirahat yang maksimal menjelang lomba dua hari nanti.

Ketika aku terbangun, aku menampakmu sedang duduk di depan mesin jahit tuamu sembari terkantuk-kantuk berusaha menyelesaikan baju untukku.

Benarkah itu dirimu? Kemarin, engkau masih keberatan aku ikut MTQ itu. apakah sebenarnya alasanmu?

“Maafkan ibu ya! saat itu ibu bingung harus mendapatkan uang dari mana untuk membelikanmu busana yang akan kamu kenakan nanti pada saat lomba? Ibu ingin sekali menyaksikanmu tidak hanya sebagai juara nantinya tetapi juga tampil cantik dengan busana yang pantas.” Katamu sembari mengelus rambutku berulang-ulang.

Bu, maafkan aku ya! Kupikir, engkau tak mengizinkanku karena tak yakin dengan kemampuanku tetapi ternyata engkau malah mengkhawatirkan penampilanku yang akan tampak kurang cantik jika tidak disertai dengan gaun yang bagus pula. Betapa engkau selalu ingin menyenangkanku ya bu?

Bu, malam masih berselimut dingin di sini. Aku yakin, kau di rumah sana tengah bersiap-siap menunaikan shalat Tahajjud, rutinitas yang tak pernah engkau tinggalkan.

“Selama kita masih diberi kekuatan, jangan pernah enggan beribadah. Allah sudah memberi kita kesempatan, mengapa justru masih malas?” katamu waktu itu sambil tersenyum lembut saat kutanyakan mengapa engkau tak sekalipun meninggalkan shalat Tahajjudmu.

Akupun kini tengah mencoba mengikuti jejakmu. Mencoba bangun di pekatnya tengah malam, menikmati heningnya malam dan meraih khusyuknya berkomunikasi dengan Allah. Alangkah nikmatnya ternyata ya bu! Terimakasih yang tak terhingga, bu. berkatmu aku perlahan berubah menjadi pribadi yang lebih baik.

Bu, kerinduan ini belum mampu aku tumpahkan di hadapanmu sekarang. masih aku simpan rapat-rapat hingga kelak kita dapat bertemu lagi. Tunggulah bu, aku menunggu saat yang tepat untuk itu. kesibukanku sebagai pendidik di desa yang beratus kilometer jaraknya darimu mengharuskanku bersabar menunggu waktu libur untuk menuntaskan rindu ini.

Kembali ingatanku bergulir ke masa yang sangat erat kaitannya dengan keberadaanku sekarang di tempat ini. Bukan sebuah kebetulan aku bertugas di tempat ini, sebuah desa kecil yang sangat jauh jaraknya darimu.

Aku ingat betul sesaat setelah pengumuman kelulusanku di SMA. Serta merta engkau mengutarakan keinginanmu untuk melihatku menjadi pendidik kelak, obsesimu di usia mudamu yang tak pernah kesampaian karena biaya yang tak pernah cukup oleh kakek dan nenek.

Lagi-lagi aku yang labil dan emosional kontan mengekspresikan penolakanku.

“Aku punya cita-cita sendiri, bu. Jangan menjadikanku robot yang mengharuskan menunaskan obsesimu yang tidak terwujud dulu.”

Mendengar suaraku yang lantang, engkaupun terkejut. Dan tak berapa lama kemudian, engkaupun terisak dengan genangan air mata di pipimu.

“Maafkan ibu, tak sepantasnya memang menjadikanmu penuntas obsesimu. Mungkin ibu terlalu terobsesi menjadi pendidik. Sebuah profesi mulia yang lahan amalnya akan selalu melimpahi tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat nantia, meski jasad telah menjadi tulang belulang.”

Tahukah, bu? Mendengar kata-katamu yang tersendat di tengah isakmu saat itu, aku tersentak dan menyesali sikapku yang sok idealis mempertahankan pendapat tanpa tahu dengan pasti apa sebenarnya yang sedang kupertahankan.

Ya, saat itu aku hanya ikut-ikutan teman-teman yang beramai-ramai mendaftar di fakultas favorit seperti fakultas hukum, ekonomi yang sesuai jurusanku saat itu.

Aku akhirnya tahu, bahwa keinginanmu untuk melihatku sebagai pendidik dikarenakan selain ingin mewujudkan kembali obsesi semasa mudamu atas diriku, biaya kuliah di fakultas pendidikan tidaklah semahal dengan biaya di fakultas lain.

Oh ibu, pemikiranku selalu tak pernaah menyentuh dasar pemikiranmu yang sesungguhnya. Selalu saja ketika terjadi kontradiksi diantara kita, prasangka burukkulah yang kutuduhkan padamu. Untuk kesekian kalinya kembali aku memohon ketulusanmu, maafkan atas kepongahanku. Sebuah refleksi perasaan jauh di atasmu karena telah mengecap pendidikan yang lebih tinggi darimu. Oh ibu, aku memang sungguh keterlaluan.

Tetapi engkau adalah sosok yang tulus menerima semua perlakuanku terhadapmu. Dan lagi-lagi tak sedikitpun kutampak bias amarah di wajah lembutmu.

Kini, aku telah menikmati anugerah yang tak henti-hentinya aku syukuri, menjadi guru di sini, yang awalnya hanya sekedar menuruti semua keinginanmu.

Terima kasih, bu. Melalui dirimu, Allah menunjukkanku jalan untuk menggapai nikmatNya sebesar ini. Sebuah kepastian yang akhirnya kusadari kini.

Bu, kutitip rindu ini sementara saja pada gerimis yang enggan berhenti mengantar fajar subuh menjelang. Tetes-tetesairnya yang bergelayut di ranting pepohonan semakna rinduku yang terus saja terpaku akan kasih sayangmu hingga iapun enggan menjatuhkan diri ke bumi.

Percayalah, segenap perasaan yang mengalirkan keinginan mengecup tanganmu dan menyentuh mata beningmu adalah hal yang sangat ingin aku lakukan kini.

Ibu, aku masih menatapi wajah-wajah damai cucu-cucumu yang tengah didekap mimpi-mimpi mereka. Air mataku perlahan jatuh ke pipiku. Kubayangkan ketika aku kecil dulu, engkau juga pasti sering melakukan hal yang sama seperti ini terhadapku. Terima kasih untuk cintamu yang berbatas. Kini aku tengah berusaha menapaktilasi langkah-langkahmu saat merawat dan membesarkanku. Aku ingin anak-anakku kelak akan merasakan hal yang sama kurasakan saat ini.

Saat menatapi wajah cucu-cucuku kelak, maka seraut wajahkupun akan terlintas di benak mereka membuat mereka haru akan kesahajaanku.

Terima kasih sekali lagi untuk tauladan yang telah kukecap selama ini. Bagimu ibu, yang kasih dan cintanya tak berbatas. ***

NB: Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community Klik link ini dengan judul : Inilah Hasil Karya Peserta Event Hari Ibu

Jangan lupa cantumkan juga kata-kata berikut ini : Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community (link : https://www.facebook.com/groups/175201439229892/)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun