Hari Ahad, 7 Agustus, saya kembali berangkat ke Semarang. Tiket kereta api sudah di tangan—titip Mbik beli di Gambir, Jumat sore. Pagi-pagi, bersama Mbik, saya berangkat ke Stasiun Bojonggede. Ini atas usulan si Mbik. Katanya, naik kereta komuter Bogor—Jakarta jauh lebih cepat, jauh lebih nyaman, dan adem. “Langsung nyampe Gambir, lagi,” katanya. Jadi, saya setuju untuk mencoba.
Menurut Mbik, ada dua kereta yang ideal untuk dijajal: yang berangkat pukul 7.15, atau yang berangkat pukul 8.00. Paling lama satu jam kemudian sudah sampai tujuan. Bedanya hanya pada masalah menunggu. Yang pertama membuat saya menunggu lebih lama di Gambir. Yang belakangan membuat saya lebih lama menongkrong di Bojonggede. Saya memilih menunggu di Gambir saja. Dan pengalaman saya ternyata memang sungguh menyenangkan. Cepat sampai tujuan, tanpa macet macam lewat tol. Pukul 8.24 saya sudah tiba di Gambir. Aha, hanya menunggu sekitar satu jam, pikirku.
Dasar memang harus menunggu lama…. Ternyata, tak lama setelah saya tiba, persinyalan Gambir—Jakarta Kota mengalami gangguan. Dua kereta ekonomi terpaksa berhenti cukup lama di Gambir, sampai-sampai penumpangnya sebagian berjalan-jalan di pelataran peron untuk menggerakkan kaki. Alhasil, baru pukul sebelas kurang keretaku datang. Itu juga muncul tanpa pemberitahuan. Setelah kereta mapan berhenti, barulah si petugas mengumumkan lewat pengeras suara. Lupa, barangkali. Tidak apalah.
Pukul 11.02, kereta berangkat. Saya duduk di kursi 3 D, gerbong kedua. Lagi-lagi di samping jendela; bebas memandang ke mana-mana. Sayang, saat lewat di Stasiun Manggarai, sebuah pemandangan tidak senonoh muncul di hadapanku. Seorang pria berdiri di bawah pelataran, memepet dinding yang tinggi. Tangannya berada di depan selangkangannya. Secara instingtif, saya langsung tahu, apa yang dilakukan pria itu—buang air kecil—dan segera memalingkan muka, tetapi mata saya masih sempat menangkap air yang mengalir di dinding pelataran yang dicat biru muda itu.
Ih! Kebiasaan buruk yang tidak bersih diri dan sungguh tidak bersih lingkungan.
Sebenarnya, sudah lama saya ingin menulis keluhan tentang kebiasaan buang air kecil di sembarang tempat ini, dan pengalaman tadi akhirnya mengerakkan tangan saya. Banyak kejadian yang saya lihat. Tentu tidak satu pun terjadi di bawah kehendak saya—apalagi menyengajakan mata melihat. Amit-amit. Hanya saja, saya yakin, pengalaman ini bukan monopoli saya semata. Ini pengalaman hampir semua orang. Pelakunya beragam. Mulai dari pria yang malas mencari WC umum, sampai bocah kecil yang dibiarkan ibu atau bapaknya buang air sembarangan. Pelaku dewasa, selalu saja pria. Yang bocah? Ya laki-laki, ya perempuan. Tidak dibasuh pula.
Astagfirullah!
Soal basuh-membasuh ini memang sangat penting dan menjadi perhatian saya. Sejak kecil, Mama mengajari saya untuk selalu membasuh diri setelah buang air kecil (dan besar, tentu saja). Dalam keadaan terpaksa sekalipun, Mama mengusahakan air untuk membasuh. Saya punya pengalaman tentang ini. Waktu itu, saya masih piyik, mungkin bahkan belum masuk taman kanak-kanak. Saat ikut Mama berbelanja, blusukan di Pasar Pusat, mendadak saya ingin pipis. Langsung bilang Mama, dong! Mama membujuk saya, siapa tahu masih bisa ditahan sebentar sampai kami kembali ke depan Mesjid Taqwa, tempat Papa menunggu. Sayangnya, kali ini sungguh tak tertahankan rasanya. Haduh! Kebelet!
Seorang pedagang di pasar itu lantas menganjurkan agar saya buang air di got saja. “Ndak [a]pa-[a]pa, doh,” katanya. Tahu apa yang Mama lakukan? Mama meminta air bersih dari pedagang itu. Berbekal air itu, akhirnya hajat saya pun dituntaskan di lokasi yang dianjurkan. Cukup untuk membasuh bersih, sekaligus menyiram.
Pengalaman sekali dalam seumur hidup; dan mudah-mudahan, ya Allah, cukuplah sekali itu saja. Namun, sebagai akibatnya, ajaran Mama itu melekat kuat. Bukankah agama yang saya anut pun memerintahkan kami untuk membasuh diri setelah buang air kecil? Karena itu, tidak masuk di akal saya jika seseorang tidak melakukannya sehabis membuang hajat. Bahkan, membersihkan dengan tisu toilet pun—tanpa dibasuh dengan air—tidak mungkin saya lakukan.
Maka itu, saya sungguh-sungguh tak paham, bagaimana seorang ibu bisa membiarkan anaknya buang air di persimpangan Pasar Cibinong, misalnya. Ya, persis di depan toko alat-alat listrik dan toko obat, saat menunggu bus jurusan Cibinong—Tanjungpriok. Di tengah jalan, ratusan pengendara kendaraan bergerak merangkak terseok-seok. Setelah hajat usai, jangankan dibasuh, disiram pun buangannya, tidak….
Seandainya ada yang bertanya, apa yang akan saya lakukan jika kebelet di tempat umum; ya, nomor satu, tentu saja, mencari posisi WC terdekat. Jika tempat itu di pinggir jalan dan WC umum tak kelihatan, saya akan pergi ke salah satu toko, lantas meminta izin menumpang buang air di WC-nya. Mustahil tidak diizinkan. Jika tempat itu tidak umum seperti di tengah hutan yang sudah pasti tidak ada WC-nya, saya akan mencari tempat yang ada airnya. Tidak ada air? Masak sih, saya tidak bawa bekal air minum? Gunakan itu untuk membasuh. Segelas kecil air minum kemasan pun cukup untuk itu. Yang penting, basuhlah dirimu. Ini mungkin tampak seperti urusan kecil, tetapi dampaknya besar, lo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H