Mohon tunggu...
titi zubir
titi zubir Mohon Tunggu... -

Saya seorang penulis amatir yang senang berkomentar tentang apa saja. Sedikit gaptek, maka itu tidak punya blog, tetapi ingin tahu lebih banyak tentang makhluk bernama "teknologi". Penggila buku, dan menganggap hadiah paling indah adalah voucher belanja buku sepuasnya. I'm simple, love music, especially jazz, country, lagu-lagu lama dan... keroncong.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"The Killing Streets"

24 November 2009   11:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:12 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Meski sudah berbilang bulan di Jakarta, saya tidak kunjung betah melihat dan mengalami sendiri jebakan macet yang memusingkan. Buat saya, yang terbiasa mengendarai sepeda motor sendiri di Pekanbaru, lalu lintas Jakarta bagaikan mimpi buruk mengerikan. Di Pekanbaru, saya termasuk tukang ngebut yang penuh perhitungan. Di Jakarta? Jangan suruh saya "pegang" motor—yah, kalau untuk jelajah jarak dekat skala kecamatan, tidak mengapalah. Nyawa saya masih ada.

Karena kendaraan di rumah Kakak "berjenis kelamin" vespa—yang nota bene tidak termasuk repertoire kecakapan saya berkendara—dan "pawangnya" sudah berpulang, maka andalan kami untuk pergi ke mana-mana, ya, si angkot merah "KWK". Pasti sudah mafhum, angkot jenis begini termasuk hiperaktif. Liar. Nakal. Nekat. Unpredictable. Sampai saat ini, saya pasti memejamkan mata jika kendaraan yang saya tumpangi bermanuver masuk celah sempit di antara truk-truk bermuatan peti kemas. Atau jika ada metromini memaksa menyalip jalan kendaraan saya agar bisa masuk terminal lebih dulu—padahal, di depan sana ada bus yang "ngetem". Atau jika ada pengendara sepeda motor yang selip sana-sini dan ups! hampir saja ditabrak sepeda motor lain yang datang dari samping. Oh, my God. Mengerikan. Nyawanya mungkin lebih banyak daripada nyawa kucing.

Perilaku para penggembira jalan raya ini membuat saya terperangah. Misalnya, aktivitas para penglaju asal kawasan timur Jakarta yang saban hari memenuhi Jalan Raya Bekasi untuk "mencangkul" di Jakarta. Yah, termasuk juga angkot nakal yang saya tumpangi. Ketidaksabaran membuat mereka memutuskan menjajah habis jalur jalan ke arah Bekasi. Pada titik di depan Ciputra BizPark, para "penjajah" itu memotong pembatas jalan untuk kembali ke jalur yang benar. Kondisinya persis leher botol. Macet. Asap. Bising. Di tengah-tengah semua itu, para pengendara sepeda motor tetap saja menyelip sana-sini. Motonya, jangan pernah berhenti walaupun sedetik. Biar sejengkal, pasti dikejar. Maka, wajar saja. Kecelakaan jamak terjadi. Bahkan cenderung meningkat. Ibarat ladang pembantaian saja. The killing streets.

Dari situs detiknews.com saya baca, angka kecelakaan jalan raya memang terus meningkat. Khusus di DKI Jakarta, menurut Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal, 70 persen penyumbang kecelakaan berasal dari kendaraan bermotor roda dua. Tidak mengherankan. "Jumlah kendaraan roda dua memang meningkat," kata Pak Menteri dalam acara Pekan Nasional Keselamatan Transportasi Jalan 2009 di Teater Tanah Airku, TMII, Jakarta, akhir Juni silam. Saya sampai berkhayal menjadi invisible hand yang menebar jaring raksasa di sepanjang jalan raya di Jakarta dan semua sepeda motor terjaring di dalamnya. Pasti seperti panen raya. Nah, di musim hujan seperti sekarang ini, kekhawatiran tidak hanya menyangkut kecelakaan karena aksi liar pemakai jalan raya. Ancaman banjir, angin kencang, pohon tumbang juga harus dihadapi. Bagaimana tidak puyeng?

Soal jumlah yang terus meningkat itu, memang terasa seperti mimpi buruk. Ya sepeda motor, ya mobil. Keponakanku si Mbak Mbik sering sekali menggerutu jika melihat mobil-mobil pribadi yang manusianya hanya seorang. "Menuh-menuhin jalan 'aja," katanya sebal. Hak setiap orang, memang, untuk memiliki kendaraan pribadi. Biar nyaman berkendara di tengah arus liar lalu lintas yang panas padat penuh polusi. Tetapi, sungguh kemubaziran, memang, satu kendaraan berkapasitas delapan orang hanya diisi satu orang. Bukankah Jakarta punya komunitas nebeng? Seandainya semakin banyak orang bergiat di komunitas ini, alangkah baiknya.

Yang paling baik memang menyediakan fasilitas transportasi massal yang memadai. Biar orang-orang bilang apa, Transjakarta tetap menjadi kendaraan umum favorit saya. Sayang koridor terdekat dimulai dari Terminal Pulogadung. Coba kalau lebih dekat ke rumah. Saya yakin, jika koridor yang masih menganggur segera dioperasikan, lantas jumlah koridornya diperbanyak, rutenya sampai kawasan pinggir, pasti Transjakarta semakin banyak penggunanya. (Nantilah bicara soal subway atawa monorail. Urus saja baik-baik KRL Jabodetabek dan kereta lingkar Jakarta.)

O ya, satu lagi. Tolong, para "penggembira" transportasi massal, tangannya jangan usil. Cukup dalam mimpi tangan kalian menjadi invisible hands yang bisa mengutak-atik nasib orang lain. Di dunia nyata, tangan usil dapat merusak dan membahayakan. Ini juga berlaku untuk kendaraan kalian sendiri. Kalau mau usil, memodifikasi macam-macam, hendaknya tidak mengusik fungsi kendaraan yang hakiki. Mengantar kita dari satu tempat ke tempat yang lain dengan selamat. Jalan raya bukan ladang pembantaian. No more killing on the streets.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun