Saya tidak menyangka, mendapat kehormatan menghadiri peresmian “pelayaran” ketiga Dewa Ruci, Jumat, 19 November 2010. Bukan di dermaga Tanjungpriok, tempat KRI Dewa Ruci tengah sandar setelah pelayaran penuh prestasi selama delapan bulan. Lagi pula, bukankah Dewa Ruci sudah berkali-kali melayari samudra, mengharumkan nama bangsa? Tidak. Pelayaran yang ini adalah pelayaran ketiga Dewa Ruci di samudra perbukuan Indonesia: peluncuran buku Dewa Ruci, Pelayaran Pertama Menaklukkan Tujuh Samudra. Dan saya hadir di sana, bertemu langsung dengan penulisnya. Sungguh suatu kehormatan!
Semua berawal dari sebuah surat elektronik yang masuk ke kotak suratku. Pengirimnya: Sam Kowaas; subjeknya: Dewa Ruci.
Dewa Ruci!
Seketika ingatan melayang ke sebuah buku yang saya temukan di rak perpustakaan sekolah saat masih kelas tiga SMA, bertahun-tahun silam. Judulnya Dewa Ruci Melanglang Buana, bersampul biru terang bergambar foto hitam putih sebuah kapal layar bertiang tiga berlayar 16; penerbitnya Pustaka Sinar Harapan. Dari keterangan yang saya baca, buku ini hasil revisi buku Sang Saka Melanglang Jagad yang pernah terbit tahun 1965; dan penulisnya bernama C. Kowaas. Meski bukan jenis buku yang biasa kubaca sebagai remaja masa itu, entah kenapa, saya tertarik. Saya ambil dan saya bawa ke meja baca. Baru beberapa halaman, saya sudah tenggelam keasyikan. Saat jam istirahat habis, saya menyesal. Dengan penuh kesadaran, saya kembalikan buku itu ke rak semula, tetapi disurukkan di sudut belakang. Maksudnya jelas, agar nanti saya bisa membacanya lagi tanpa terganggu.
Kali berikutnya saya ke perpustakaan, saya menemukan buku itu lagi tanpa kesulitan. Saya kembali “berpetualang” bersama penulisnya, yang harus saya akui, berhasil menggambarkan pengalaman para awak Dewa Ruci dengan begitu menarik. Saya ikut tegang saat mereka menghadapi bahaya di laut ganas. Saya tergelak sendiri saat penulisnya membagikan kisah-kisah kehidupan sehari-hari di kapal. Saya terbius! Saya lupa, apakah saya sempat meminjam buku itu secara resmi. Sebab, yang kemudian saya lakukan adalah menyelundupkan buku itu ke dalam tas sekolah saya di rak penitipan—dengan “sukses”, kalau boleh saya tambahkan—tanpa ketahuan ibu pustakawati yang manis, berambut agak pirang dan baik hati. Dan sampai sekarang—ya, hingga hari ini—buku itu masih ada di tangan saya....
Karena itulah, surat elektronik dengan nama pengirim “Kowaas”, apalagi dihubungkan dengan “Dewa Ruci”, membuat saya terkejut. Jangan-jangan.... Segera saya buka suratnya. Ternyata, Si Pengirim ini membaca komentar saya di situs Kick Andy, pada sebuah posting Andy’s Corner tentang Dewa Ruci. Saya sendiri lupa pernah menulis komentar itu. Intinya, saya bercerita pernah membaca sebuah buku bagus tentang pelayaran Dewa Ruci keliling dunia, bertanya-tanya apakah penulisnya C. Kowaas masih hidup, dan mengusulkan mengapa buku sebagus ini tidak diterbitkan lagi. Kejutannya adalah, Si Pengirim mengatakan bahwa penulis buku yang saya bicarakan itu masih hidup, sehat, masih aktif menulis di usia 78 tahun, dan, “Cornelis Kowaas adalah orang tua saya.”
Luar biasa!
Dalam korespondensi selanjutnya, Sam Kowaas memberi tahu saya bahwa berkat dorongan berbagai pihak, termasuk komentar saya di internet, buku itu akan diterbitkan kembali oleh Kelompok Kompas Gramedia. Berikut kutipan surat Sam Kowaas kepada saya.
Yth. Ibu Titi,
Terimakasih banyak untuk jawabannya. Mohon maaf baru dibalas. Sebenarnya saya ingin membalasnya lebih awal menggunakan komputer tapi berhubung kesibukan dengan terpaksa saat ini saya menjawab e-mail Ibu dengan Blackberry. Saya tidak ingin menundanya lebih lama. Mohon dimaafkan, Bu.
Ayah saya, Pak Cornelis sangat senang sekali mendengar jawaban dari Ibu. Kebetulan, Beliau sedang di Jakarta. Buku Dewa Ruci yang ditulis kembali sudah selesai dicetak oleh Gramedia. Menurut rencana 2-3 hari ini sudah akan dijual di toko-toko buku Gramedia.
Sejujurnya, Ibu turut berperan dalam penerbitan kembali buku tersebut. Ada beberapa penerbit yang mendekati Pak C. Kowaas, tapi Beliau tidak begitu antusias. Namun setelah saya menunjukkan beberapa komentar tentang buku Dewa Ruci di internet, termasuk komentar Ibu, Beliau jadi bersemangat. Nah, ketika Gramedia mendekatinya pada awal tahun ini, semua berlangsung begitu cepat. Memang benar bahwa Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktunya.
Demikian, Bu Titi. Sekali lagi terimakasih atas dukungan Ibu.
Salam hormat,
Sam
Wah, saya tidak menyangka komentar saya bisa ikut membawa dampak sebesar ini! Saya lantas bertanya apakah buku ini akan dibuatkan acara peluncuran, dan kira-kira kapan. Sebab, saya ingin sekali bertemu langsung dengan Pak Cornelis. Menurut Sam, selain peluncuran buku, pihak Kick Andy juga ingin membuat acara dan mewawancarai Pak Cornelis terkait buku ini. Dan semua itu akan disesuaikan dengan jadwal kedatangan KRI Dewa Ruci ke Tanah Air setelah mengemban tugas mengikuti lomba layar di Eropa. Pokoknya, saya akan terus dikabari soal kepastian acara.
Maka, Jumat, 19 November kemarin, saya berangkat dari Cibinong usai lohor, dan akhirnya bertemu langsung dengan Cornelis Kowaas di Gramedia Matraman, tempat acara peluncuran buku dilangsungkan. Sebelumnya saya disambut Samuel Kowaas, yang ternyata mengikuti jejak ayahnya menjadi anggota TNI Angkatan Laut. Sam membawa saya berkenalan dengan ayahnya yang masih tampak gagah di usia 78 tahun. Pak Cornelis menyalami saya dengan erat, dan setelah bercakap-cakap sebentar, memperkenalkan saya kepada sejumlah rekannya. “Kalau bukan karena Bu Titi ini, mungkin buku ini tidak diterbitkan lagi,” kata beliau. Saya dipersilakan duduk di bagian depan. Dan saat acara yang juga dihadiri komandan KRI Dewa Ruci beserta sejumlah awaknya itu sudah dimulai, Pak Kowaas juga menyebut nama saya dalam sambutannya serta meminta saya berdiri untuk diperkenalkan. Wah, saya jadi terharu....
Kalau saja sempat, sebenarnya kemarin saya ingin menceritakan kisah buku yang saya selundupkan itu. Tetapi, biarlah. Saya cukup bahagia karena buku di tangan saya kali ini—yang saya beli sendiri, bukan “pinjaman” dari perpustakaan sekolah—menjadi buku pertama yang ditandatangani Pak Cornelis. Dan tetap saja, saya akan selalu merekomendasikan buku bagus ini kepada siapa saja. Apalagi kepada penggemar kisah-kisah petualangan mendebarkan, perindu cerita tentang rasa kebangsaan, nasionalisme, semangat menyala yang tak kunjung padam, meski diterpa dahsyatnya gelombang tujuh samudra.
Tidak perlu diragukan lagi: saya bangga menjadi bagian dari “pelayaran” ketiga ini!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H