[caption id="attachment_210037" align="alignnone" width="300" caption="Bunga rumput (Dandelion)"][/caption] “Kau tidak merasa bosan menyapaku setiap hari?” sekuntum bunga rumput bertanya pada angin yang bertiup semilir menggoyangkan kelopak dan daunnya. Sang angin semilir tertawa. Terus bergerak ke kiri, ke kanan, ke atas, ke bawah, kadang berputar. “Mungkin karena aku memang ramah. Atau juga karena kau begitu cantik. Tapi sebetulnya aku menyapa seisi dunia. Walaupun tidak semua secantik dirimu. Aku juga menyapa pohon, telaga, pasir di pantai. Bahkan tumpukan sampah yang dihasilkan manusia. Aku memang menyukaimu. Kalau kau bertanya apa sebabnya, aku pun tidak tahu,” jawab sang angin. “Kau tentu sudah mengunjungi banyak tempat. Pasti sangat menyenangkan menjadi dirimu yang bisa bergerak bebas ke sana kemari. Kadang aku iri dan ingin merasakan kebebasan itu. Aku tumbuh di tempat yang luas dan seluruh keperluanku tercukupi. Tapi rasanya aku pun ingin mengunjungi tempat-tempat jauh yang kau ceritakan,” ujar sang bunga rumput. Angin kembali tertawa. Begitu riang dan ringan. “Itu mudah sekali. Yang harus kau lakukan hanyalah menunggu,” katanya. “Menunggu? Menunggu apa? Apakah aku bisa menjadi angin suatu saat nanti?” tanya sang bunga rumput kebingungan. Angin tertawa dan tertawa dan tertawa lagi. “Kau lucu sekali. Kau tidak perlu berhenti menjadi dirimu sendiri untuk bisa bertualang keliling dunia. Tunggulah beberapa hari. Kau akan melihat perubahan pada dirimu,” jawab sang angin. Sehari. Dua hari. Tiga hari. Bunga rumput menghitung hari-hari yang dilaluinya. Hatinya berdebar. Apa yang akan terjadi? Angin masih sering menyapanya. Tapi ia tidak pernah membahas pembicaraan hari itu. Ia hanya menjawab, “Tunggu saja!” setiap kali bunga rumput menanyakan apakah dirinya sudah berubah atau belum. Hingga pada hari kelima. Angin menghampiri bunga rumput dan berteriak, “Ini saatnya! Apa kau sudah siap?” Bunga rumput sejenak diam. Ia memang sudah menanti saat-saat ini. Tapi ia merasa masih harus mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. “Yang kau maksud perubahan pada diriku itu sebetulnya seperti apa? Aku masih merasa biasa-biasa saja. Masih berdiri di tempat ini dan tak bisa berjalan ke mana-mana.” Angin menyuruh bunga rumput melihat ke bawah. Di sana tampak bertebaran kelopak-kelopak bunga. Mereka sudah rontok dan kering terbakar matahari. “Tahukah kamu, kamu sudah sangat berubah. Kelopakmu mengering semua dan jatuh ke tanah. Tidakkah kau sadari itu?” tanya angin. “Dan kini kau berdiri tanpa kelopak yang dulu kau banggakan karena mereka begitu cantik. Sekarang kuntummu dipenuhi benang-benang sari yang rapuh. Kapan pun kau katakan siap, kau bisa terbang bersamaku keliling dunia kini. Hanya saja kau harus menyadari satu hal. Kau takkan bisa kembali ke tempat ini. Tubuhmu akan tercerai-berai karena kau menjadi sekumpulan benang sari. Dan kelak mereka akan memiliki jiwanya masing-masing. Setiap jiwa itu akan mencari takdirnya sendiri-sendiri. Saat itu, kau tak akan pernah menjadi dirimu lagi. Kau akan menjadi diri-diri yang berbeda satu sama lain. Setiap diri itu akan menemukan tempatnya masing-masing untuk tumbuh. Mungkin di suatu tempat di dalam hutan. Mungkin di sebuah oasis di tengah gurun pasir yang terik menyengat. Atau di tepi sebuah sungai yang menghanyutkan. Sekarang kau akan benar-benar terbang bersamaku. Apa kau bersedia?” “Tapi, aku bisa saja mati sebelum tiba di tempat-tempat itu?” “Tentu saja kau akan mati. Bahkan bila kau tidak melakukan apa-apa. Saat ini pun benang-benang sari di kuntummu mulai berguguran. Tapi akhir dari hidupmu adalah awal bagi kehidupan mereka yang lepas dari dirimu.” Bunga rumput terdiam beberapa saat. Sebelum akhirnya memutuskan. Ia mengurungkan niatnya. “Dunia tampak begitu menantang, tetapi juga menakutkan. Mungkin lebih baik jika aku menebarkan benihku di sini saja. Dekat dengan diriku sendiri,” katanya. “Baiklah. Aku paham,” kata sang angin. Nadanya menyesal. Ia lalu pergi. Membiarkan bunga rumput dengan puluhan benang sari di tubuhnya. “Maafkan aku,” ucap sang bunga rumput pelan. Ia tidak menyangka kalau keinginannya ternyata memiliki risiko amat besar. Tiga hari berlalu. Sejak pertemuan bunga rumput dengan angin saat itu. Kuntum sang bunga rumput hampir gundul karena benang-benang sarinya rontok satu per satu. Angin yang tak kunjung datang membuat cuaca semakin panas. Dan hujan tiada turun. Bunga rumput merasa rindu pada sapaan angin yang selalu mengajaknya bercanda. Hingga kemudian angin itu datang. Masih tertawa jenaka seperti dulu. “Kenapa kau selalu tertawa tanpa beban seperti itu? Tidakkah kau tahu, aku sekarat saat ini?” tanya bunga rumput. Ia sedih, menganggap angin tidak peduli padanya. “Kenapa harus bersedih? Apakah menurutmu mati itu kabar buruk? Sayang sekali kalau begitu. Tidakkah kau tahu, aku pun dulu adalah makhluk hidup seperti dirimu? Dan kini aku adalah roh yang memiliki duniaku sendiri. Percayalah padaku. Kematianmu adalah awal bagi kehidupan yang lain.” Angin bercerita panjang lebar pada bunga rumput yang takjub menatapnya tak berkedip. “Lagi pula, aku akan selalu menyukaimu meski kau tak secantik dirimu yang dulu. Bukankah kau tahu itu?” tambahnya dengan senyum dan tawa yang terdengar jenaka di pendengaran bunga rumput. “Ajari aku!” seru bunga rumput tiba-tiba. “Ajari aku untuk hidup. Walau setelah kematianku. Ajari aku menjadi roh bagi semesta. Ajari aku untuk terbang. Bawa aku ke mana pun kau inginkan. Beri tahu aku bagaimana caranya!” Lalu bunga rumput terisak. Hatinya pilu. Ia tahu kalau ia akan mati tak lama lagi. Tapi hanya sedikit yang ia ketahui tentang tempat tujuannya setelah mati. Angin menatap bunga rumput beberapa saat dengan sayang. Ia membiarkan bunga rumput menghabiskan kesedihannya. “Aku tidak akan membawamu ke mana-mana, bunga rumput. Aku hanya akan mengantarkanmu pada dirimu sendiri. Buka matamu dan lihatlah sekeliling,” ujar angin. Bunga rumput menghentikan isaknya. Lalu melihat sekeliling dirinya. Ternyata angin telah membawanya lepas dari kuntum yang membuatnya merasa sekarat. Ia terbang bersama angin. Di bawahnya gunung dan lembah-lembah. Sungai-sungai tampak begitu indah. “Apa yang kau rasakan?” tanya angin. Bunga rumput tidak menjawab. Ia memandang semua itu dengan hati yang bergetar. Ia tidak berani membayangkan seperti apa bentuk tubuhnya sekarang. Apakah ia masih bunga rumput yang bergoyang ditiup angin. Ataukah kumpulan benang sari yang terbang dibawa angin. Ia hanya merasa begitu bebas. Begitu merdeka. Tak habis-habisnya ia berputar. Meliuk bersama angin yang membawanya menari. “Siapakah aku?” tanyanya kemudian. “Ha-ha....” Angin tergelak beberapa saat, lalu berbisik. “Aku bunga rumput. Kau adalah aku.” Beberapa hari berselang. Sebatang rumput mulai memekarkan kelopak bunganya. Warnanya kuning cerah. Disambut selarik angin. Ia tertawa-tawa dengan jenaka, “Selamat pagi, bunga cantik.” -Rinrin Migristin- *Cerpen ini dimuat di Tribun Jabar 3 Mei 2009, waktu dimana ia berpulang kembali kepada-Nya dalam usia 29 tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H