Mohon tunggu...
Titania Azzahra
Titania Azzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

---

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Pemberantasan Narkoba Goes Wrong

8 Desember 2024   07:47 Diperbarui: 8 Desember 2024   19:49 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Narkoba adalah zat yang memiliki efek samping berupa penurunan kesadaran untuk menghilangkan rasa nyeri dan dapat menyebabkan ketergantungan bagi penggunanya. Ketergantungan ini dapat membahayakan jika dikonsumsi dalam jumlah berlebihan. Peredaran narkoba sendiri terus berkembang seiring waktu, dengan peningkatan yang cukup signifikan, mencatatkan 225.000.000 pengguna antara 2016 hingga 2018.

Meskipun upaya pemberantasan peredaran narkoba telah dilakukan oleh berbagai pihak, kenyataannya angka peredaran narkoba terus meningkat dari waktu ke waktu. Dalam rentang waktu 2016 hingga 2018, jumlah pengguna narkoba global tercatat melonjak hingga mencapai 225 juta orang, sebuah angka yang sangat signifikan dan mencerminkan betapa besar tantangan yang dihadapi dalam memerangi perdagangan narkoba. Hal ini menjadi perhatian besar di banyak negara, termasuk Filipina, yang pada saat itu tengah menghadapi krisis narkoba yang semakin memburuk. Dalam konteks ini, perang narkoba yang digagas oleh Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, pada awal masa jabatannya menjadi salah satu kebijakan yang paling kontroversial dan menarik perhatian internasional.

Perang narkoba di bawah kepemimpinan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, menjadi salah satu kebijakan yang paling kontroversial dan mendapat perhatian internasional sejak ia dilantik pada Juni 2016. Kebijakan ini bertujuan untuk memberantas peredaran dan penggunaan narkoba yang dianggap telah merusak masyarakat Filipina, tetapi di sisi lain juga memicu kritik keras karena metode yang digunakan, terutama dalam hal pelanggaran hak asasi manusia. Kebijakan ini dilaporkan telah menyebabkan lebih dari 5000 tersangka tewas dalam baku tembak dan penggerebekan terkait narkoba. Akibatnya, Filipina mengalami krisis kemanusiaan, karena Presiden Duterte terus melanjutkan aksi pembunuhan dengan alasan "Perang Melawan Narkoba."

Ketika Rodrigo Duterte terpilih menjadi presiden Filipina pada tahun 2016, ia membawa janji untuk menanggulangi masalah narkoba yang telah menjadi salah satu tantangan terbesar negara tersebut. Duterte menyatakan bahwa peredaran narkoba, terutama methamphetamine, telah merusak kehidupan banyak orang Filipina, menyebabkan kekerasan, dan menghancurkan keluarga. Ia menyebutkan bahwa sejumlah besar penduduk, termasuk anak-anak, terjerat dalam jaringan peredaran narkoba.

Duterte menekankan bahwa permasalahan narkoba ini juga terkait dengan jaringan kejahatan terorganisir dan korupsi dalam aparat penegak hukum. Oleh karena itu, ia bertekad untuk menghentikan peredaran narkoba dengan cara yang lebih tegas dan cepat. Pada awal masa pemerintahannya, Duterte mengumumkan perang terbuka terhadap narkoba, dengan tujuan untuk membasmi sindikat narkoba dan menghentikan kebiasaan penggunaannya di masyarakat.

Perang narkoba Duterte dimulai dengan kampanye keras yang melibatkan aparat kepolisian dan militer Filipina. Pada bulan Juli 2016, hanya beberapa minggu setelah pelantikannya, Duterte memberikan perintah langsung kepada kepolisian untuk mulai menjalankan operasi pembersihan terhadap pengedar narkoba, produsen, dan pengguna narkoba. Operasi ini dilakukan dengan cara yang sangat agresif, termasuk penangkapan, penggerebekan, dan dalam banyak kasus, pembunuhan terhadap orang-orang yang diduga terlibat dalam peredaran narkoba.

Duterte memberi dukungan moral kepada para polisi yang melakukan tindakan tegas dan bahkan mendorong mereka untuk menembak mati para pengedar narkoba yang melawan. Dalam pidatonya, ia sering kali mengungkapkan bahwa ia lebih memilih untuk "memotong" masalah ini dengan cara yang ekstrem, bahkan jika itu berarti melanggar aturan hukum internasional. 

Dengan demikian, eksekusi hukuman mati melalui tembak mati tanpa melalui proses peradilan jelas merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Bahkan, seseorang yang dijatuhi hukuman mati masih memiliki hak untuk mengajukan permohonan pengampunan atau pengurangan hukuman, serta mendapatkan amnesti sesuai dengan Pasal 6 Ayat (4) ICCPR.

Pada bulan September 2016, Duterte menyatakan bahwa sekitar 600.000 orang pengguna dan pengedar narkoba telah menyerahkan diri setelah mendengar ancamannya. Namun, angka ini masih jauh dari targetnya, dan perang narkoba terus meluas. Banyak orang yang diduga terlibat dalam narkoba, baik pengedar maupun pengguna, menjadi sasaran pembunuhan.

Salah satu aspek paling kontroversial dari perang narkoba Duterte adalah tingginya jumlah korban jiwa. Menurut laporan dari kelompok hak asasi manusia, lebih dari 20.000 orang telah tewas dalam operasi yang terkait dengan narkoba hingga tahun 2020. Beberapa laporan menyebutkan bahwa banyak dari korban tewas ini adalah warga sipil yang tidak terlibat langsung dengan narkoba, tetapi terbunuh dalam operasi yang diduga dilakukan dengan cara kekerasan dan tanpa proses hukum yang adil.

Meskipun Duterte sering mengklaim bahwa banyak korban adalah pengedar narkoba yang berusaha melawan polisi, banyak kelompok hak asasi manusia dan negara-negara Barat yang mengutuk kebijakan ini sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Komisi Hak Asasi Manusia Filipina, serta sejumlah organisasi internasional seperti Amnesty International dan Human Rights Watch, mengkritik penggunaan pembunuhan ekstradidik sebagai bagian dari kebijakan perang narkoba ini. 

Amnesty International, sebagai salah satu organisasi internasional yang memiliki fokus pada penegakan HAM, mengungkapkan bahwa tindakan Rodrigo Duterte yang membunuh terduga pelaku penyalahgunaan narkoba dalam upaya pemberantasan narkoba tanpa melalui proses peradilan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang bisa diadili di Pengadilan Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) berdasarkan Statuta Roma 1998. 

Hal ini disebabkan oleh hak asasi manusia setiap individu, yang mencakup hak untuk hidup dan hak untuk melawan penindasan. Berdasarkan hal tersebut, ICC memulai penyelidikan terhadap Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, pada Februari 2019, dan sebulan kemudian, tepatnya pada 19 Maret 2019, Filipina memutuskan untuk menarik diri dari ICC.

PBB dan negara-negara Barat, termasuk Uni Eropa, mengeluarkan kecaman keras terhadap kebijakan ini. Mereka menyebut tindakan Duterte sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang serius, dan beberapa negara menyerukan agar Filipina dipertanggungjawabkan atas tindakan ini. Duterte sendiri menanggapi kritik tersebut dengan sikap yang kasar, bahkan mengancam untuk menarik Filipina dari PBB dan berhubungan lebih dekat dengan negara-negara yang mendukung kebijakannya.

Meskipun perang narkoba Duterte mendapat dukungan dari sebagian besar rakyat Filipina yang merasa bahwa negara mereka berada dalam ancaman besar akibat narkoba, perang ini juga memicu ketegangan sosial. Banyak keluarga yang kehilangan anggota mereka, baik karena pembunuhan oleh aparat keamanan atau karena terlibat dalam jaringan narkoba. Kepercayaan masyarakat terhadap polisi semakin menurun, karena banyak warga yang merasa ketakutan untuk melaporkan kasus narkoba atau berinteraksi dengan aparat penegak hukum.

Secara ekonomi, perang narkoba juga memberikan dampak negatif. Banyak pengusaha dan sektor ekonomi lainnya merasa terganggu oleh ketidakstabilan sosial yang ditimbulkan oleh ketegangan ini. Di sisi lain, kebijakan ini membuka peluang bagi sindikat narkoba yang semakin terdesak untuk mengalihkan operasi mereka ke tempat-tempat yang lebih sulit dijangkau oleh pihak berwajib.

Pada tahun 2022, Duterte mengakhiri masa jabatannya sebagai presiden Filipina. Meski kebijakan perang narkoba Duterte masih menjadi bagian dari warisan pemerintahannya, Presiden Ferdinand Marcos Jr., yang terpilih menggantikan Duterte, menyatakan bahwa ia tidak akan melanjutkan kebijakan yang sama. Meskipun Marcos Jr. berjanji untuk melanjutkan perang melawan narkoba, ia menekankan perlunya pendekatan yang lebih berbasis pada hukum dan menghindari pelanggaran hak asasi manusia.

Secara keseluruhan, perang narkoba Duterte meninggalkan warisan yang kontroversial. Di satu sisi, ia berhasil menciptakan ketakutan terhadap sindikat narkoba dan memicu penurunan peredaran narkoba di beberapa daerah. Namun, di sisi lain, kebijakan ini juga menimbulkan banyak pelanggaran hak asasi manusia yang mendalam, memperburuk ketegangan sosial, dan merusak citra Filipina di mata dunia internasional.

Solusi ASEAN Way dalam menghadapi perang narkoba yang dicanangkan oleh Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, berfokus pada pendekatan yang lebih kooperatif dan berbasis konsensus di antara negara-negara anggota ASEAN. Pendekatan ini menekankan pentingnya dialog dan kerjasama yang saling menghormati, dengan mempertimbangkan perbedaan sosial, budaya, dan politik antarnegara. Dalam konteks perang narkoba, ASEAN Way mendorong negara-negara anggota untuk tidak hanya berfokus pada tindakan represif seperti penindakan dan hukuman mati, tetapi juga memperkuat upaya pencegahan melalui pendidikan, rehabilitasi, dan pengurangan permintaan narkoba.

Melalui ASEAN Way, negara-negara anggota ASEAN dapat berbagi informasi dan pengalaman dalam mengatasi masalah narkoba dengan cara yang tidak konfrontatif dan lebih fokus pada pencapaian kesepakatan bersama. Negara-negara seperti Thailand, Indonesia, dan Malaysia, yang memiliki masalah serupa dengan Filipina, bisa saling mendukung dengan berbagi strategi dan kebijakan yang telah terbukti efektif. Dengan pendekatan ini, ASEAN dapat menciptakan sebuah kerangka kerja yang inklusif, yang tidak hanya melibatkan negara-negara yang paling terdampak, tetapi juga mengintegrasikan negara-negara dengan kapasitas lebih dalam memberikan dukungan seperti sumber daya dan teknologi.

Namun, tantangan utama dalam implementasi ASEAN Way terhadap perang narkoba Duterte adalah perbedaan pandangan mengenai cara yang paling efektif untuk menangani masalah ini. Beberapa negara ASEAN mungkin memiliki pandangan yang lebih konservatif dalam hal penegakan hukum, sementara negara lain lebih menekankan pada pendekatan berbasis hak asasi manusia. Oleh karena itu, perlu ada upaya diplomatik yang berkelanjutan untuk mengatasi perbedaan ini dan menemukan titik temu yang dapat diterima oleh semua pihak. ASEAN Way, dengan prinsip saling menghormati dan mengedepankan konsensus, tetap menjadi landasan yang dapat mengarahkan solusi yang lebih seimbang dan berkelanjutan dalam perang melawan narkoba.

Referensi.

HRW (Human Rights Watch), "Extrajudicial Killings in Filipinas", (2019), URL: https://www.hrw.org/world-report/2019/country-chapters/philippines , diakses tanggal 24 Oktober 2019.

Rosviyana, Putu Mira dan Anak Agung Ketut Sukranatha, "Penegakan Hukum Terhadap Tersangka Pengedar Narkoba Di Filipina Ditinjau Dari Persepektif Ham Internasional", Jurnal Kertha Negara, Vol.7, No. 9 (2019): 1-14.

Rusdy, Muh Akbar. "Upaya Amnesty International dalam Kasus Pelanggaran HAM terhadap Buruh Anak oleh Wilmar International Ltd. di Indonesia", Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin (2018): 34

Sari, Ni Putu Nita Mutiara dan Suatra Putrawan, "Pengaturan Hukum Tindak Pidana

Narkotika Sebagai Kejahatan Trans Nasional di Kawasan Asia Tenggara", Jurnal Kertha Negara, Vol.6,No.2 (2018): 6.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun