[caption id="" align="aligncenter" width="604" caption="Martin Luther King Day, photo by Phia Sennett"][/caption]
8 bulan lalu, aku yang selalu bersembunyi di ketiak kedua orang tuaku dipaksa keluar dari kandangnya dan dibiarkan pergi tanpa diawasi sama sekali. Merantau dan terbang melintasi 3 benua dalam 2 hari, transit seperti orang kebingungan di Kuala Lumpur, Amsterdam, dan Minneapolis, serta dengan Bahasa Inggris yang patah-patah mencoba menjelaskan bahwa maksud saya pergi ke Amerika Serikat adalah untuk belajar di sebuah sekolah setingkat SMA di negara bagian New Mexico.
Tiba pada pukul 2 dini hari, hanya samar-samar kastil yang terlihat dari depan asramaku, Kilimanjaro. Aroma musim panas sangat kental, tetapi cuaca dingin menggigit kulitku yang tropis. Aku menggumam dalam hati, "Semoga hijrahku kali ini diberkahi oleh-Nya."
Sekolahku bernama Armand Hammer United World College of the American West, sebuah boarding school yang merumahi sekitar 200 remaja berumur 16-19 tahun dengan sekitar 80 kewarganegaraan yang berbeda. Hanya ada dua orang perwakilan Indonesia di sini, aku dan kakak kelasku, Tasha.
Mie Instan
Seperti yang kukatakan sebelumnya, 8 bulan di sini telah menjadi hari-hari yang paling luar biasa dalam hidupku. Salah satunya adalah bagaimana mie instan keluaran Indonesia sangat terkenal di sini. Terdapat sebuah tradisi, jika seseorang kehilangan sesuatu, dia akan mengirim mass email kepada seluruh siswa menanyakan barang mereka yang hilang dan diakhiri dengan kalimat:
"... whoever can find my thing, I'll give you 5 packs of Indonesian good noodles."
Tak hanya itu, teman-temanku kadang mencomot sembarangan stok mie instan milikku dari kardus di bawah kasur tempat tidurku. Atau kadang, mereka mengetuk pintu kamarku, dan saat kubuka, wajah mereka tiba-tiba memelas dan berkata, "I missed dinner, do you have any ramen?" Dan tentu saja, aku dengan baik hati mencoba membagikannya pada mereka.
Masih jelas pada ingatanku, bulan-bulan pertama saat tiba di sini. Pertanyaan pertama yang kutanyakan pada kakak kelasku adalah, "Kak, bagaimana caranya membeli mie instan online?"
Mie instan memang jadi hal yang "Paling Indonesia" di sini, di mata ratusan anak-anak dari seluruh dunia. Terkadang rasa homesick-ku pun dapat sembuh dengan mudah setelah aku makan mie instan. Bahkan terkadang, saat sakit flu menyerangku, yang kubutuhkan hanya dua: mie instan dan teh melati. Seketika, sakit pun sembuh dengan ajaib.
Tanya pada diri kita masing-masing, seberapa seringkah diri kita menghujat negara tetangga kita, Malaysia? Di sini, aku dekat dengan kakak kelasku dari Malaysia. Terkadang, beliau meninggalkan pesan di atas meja belajarku, "Dik, kapan kita makan mie instan sama-sama?"