Munculnya pandemi COVID-19 membawa dampak yang cukup serius bagi banyak sektor di berbagai negara. Tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan, pandemi covid-19 juga mengubah dinamika ekonomi global secara drastis, termasuk di indonesia. Meskipun perekonomian sudah berjalan lebih stabil, ancaman risiko sistemik terhadap stabilitas keuangan masih menjadi perhatian utama. Ancaman ini tetap menjadi bayang-bayang yang harus diantisipasi, terlebih dalam situasi global yang masih penuh dengan ketidakpastian. Kebijakan makroprudensial yang ditetapkan oleh Bank Indonesia merupakan solusi yang memainkan peran krusial dalam melindungi stabilitas sistem keuangan, baik selama pandemi maupun di masa pemulihan ini. Kebijakan ini dirancang untuk mencegah atau mengurangi dampak risiko sistemik yang dapat mengganggu fungsi pasar keuangan dan ekonomi secara keseluruhan. Namun, efektivitas kebijakan makroprudensial tidak hanya bergantung pada instrumen yang digunakan, tetapi juga pada cara kebijakan tersebut diimplementasikan dalam konteks ekonomi yang terus berubah. Bahkan kebijakan ini juga bergantung pada kemampuan regulator dalam membaca dinamika pasar untuk menyesuaikan kebijakan dan memperhatikan keseimbangan antara stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.
Pada masa pemulihan ekonomi pasca-pandemi, pada dasarnya Indonesia masih mengalami banyak kendala dan tidak lepas dari berbagai tantangan yang sering berganti. Risiko sistemik dapat muncul dari faktor internal maupun eksternal. Dari sisi internal, peningkatan kredit bermasalah atau Non-Performing Loan (NPL) di sektor perbankan menjadi salah satu ancaman utama. Selama pandemi, banyak pelaku usaha terutama di sektor UKM mengalami kesulitan likuiditas dan menumpuk utang. Meski beberapa sektor ekonomi telah menunjukkan tanda-tanda pemulihan, risiko kredit bermasalah ini belum sepenuhnya hilang. Hal ini tentunya menyebabkan penurunan penyaluran kredit yang dapat memperlambat pemulihan ekonomi, terutama karena banyak pelaku usaha bergantung pada pembiayaan bank untuk modal kerja dan investasi. Akibatnya, daya beli masyarakat, pertumbuhan produksi, dan ekspansi usaha mengalami hambatan. Sedangkan kredit menjadi salah satu penggerak utama perekonomian. Sementara dari sisi eksternal, ketidakpastian global tetap menjadi ancaman nyata. Kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral utama dunia seperti Federal Reserve, dapat memicu arus keluar modal dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini tidak hanya melemahkan nilai tukar rupiah, tetapi juga meningkatkan tekanan pada sektor korporasi yang memiliki eksposur terhadap utang dalam mata uang asing. Untuk mengantisipasi dampak tersebut pemerintah dan Bank Indonesia perlu mengambil langkah strategis intuk menstabilkan nilai tukar ataupun memperkuat cadangan devisa. Selain itu, juga diperlukan pengelolaan risiko sistemik yang lebih komprehensif di era pasca-pandemi ini. Tentunya tidak hanya mengandalkan instrumen kebijakan yang sudah ada, akan tetapi perlu mengadopsi langkah-langkah yang lebih adaptif dan berbasis data untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan skenario yang akan terjadi kedepannya.
Bank Indonesia (BI) beserta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengimplementasikan sejumlah kebijakan makroprudensial dengan bertujuan dapat menjaga stabilitas sistem keuangan. Kebijakan-kebijakan ini meliputi pengaturan rasio Loan-to-Value (LTV) untuk pembiayaan properti, penerapan Countercyclical Capital Buffer (CCB) untuk meningkatkan ketahanan modal perbankan, serta kebijakan likuiditas yang lebih fleksibel untuk mendukung sektor riil. Akan tetapi, tantangan-tantangan yang terjadi di era pasca-pandemi covid-19 masih membutuhkan beberapa pendekatan yang lebih dinamis. Beberapa strategi tersebut perlu menjadi fokus kebijakan makroprudensial di Indonesia yang pertama meliputi peningkatan pengawasan terhadap risiko kredit, strategi ini perlu dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memastikan bahwa risiko kredit di perbankan dapat diminimalkan. Pengetatan rasio LTV pada sektor property dan nantinya dapat membantu mencegah gelembung aset yang berpotensi mengguncang sistem keuangan. Kemudian stategi kedua dapat dilakukan dengan penguatan likuiditas perbankan, hal ini perlu dilakukan kepastian terhada likuiditas perbankan tetap mencukup penyaluran kredit, terutama ke sektor-sektor prioritas seperti manufaktur, pertanian, dan UKM. Pelonggaran kebijakan likuiditas yang telah diterapkan selama pandemi, seperti penurunan Giro Wajib Minimum (GWM), dapat tetap dipertahankan hingga perekonomian benar-benar pulih sepenuhnya. Selanjutnya strategi ini dapat dilakukan dengan cara pengendalian risiko valas, dengan potensi kenaikan suku bunga global stabilitas nilai tukar rupiah harus menjadi prioritas. Bank Indonesia perlu memperkuat cadangan devisa dan mendorong penggunaan instrumen lindung nilai (hedging) untuk memitigasi risiko valas. Untuk strategi selanjutnya dengan melakukan pemantauan risiko sistemik secara digital, pemantauan secara digital ini akan membantu regulator memantau risiko sistemik secara real-time. Sehingga analisis terkait pola transaksi keuangan dan pergerakan modal dapat direspon dengan cepat ketika ancaman mulai muncul.
Tantangan yang dihadapi Indonesia pasca-pandemi COVID-19 menuntut adanya kebijakan makroprudensial yang lebih dinamis dan responsif terhadap perubahan global yang cepat. Oleh karena itu, upaya untuk menjaga stabilitas ekonomi dan sistem keuangan masih membutuhkan  langkah-langkah strategis yang dapat mengatasi berbagai risiko yang kemungkinan masih ada. Dengan pengawasan yang lebih ketat terhadap sektor perbankan dan pengetatan rasio Loan to Value (LTV) pada sektor properti, diharapkan kebijakan ini dapat mencegah terjadinya gelembung aset yang dapat mengguncang perekonomian. Selain itu, penguatan likuiditas perbankan juga perlu menjadi fokus utama. Menjaga kecukupan likuiditas bagi sektor-sektor prioritas seperti manufaktur, pertanian, dan UMKM akan mempercepat pemulihan ekonomi. Kebijakan pelonggaran likuiditas yang diterapkan selama pandemi, seperti penurunan Giro Wajib Minimum (GWM), perlu dipertahankan hingga kondisi ekonomi kembali stabil. Pengendalian risiko valuta asing juga sangat penting, mengingat adanya potensi kenaikan suku bunga global yang dapat melemahkan nilai tukar rupiah. Bank Indonesia perlu memperkuat cadangan devisa dan mendorong penggunaan instrumen lindung nilai untuk mengurangi dampak fluktuasi nilai tukar. Di samping itu, dengan pemantauan risiko sistemik secara digital, diharapkan kebijakan ini dapat merespons dengan cepat dan tepat. Semua langkah ini harus dilakukan dengan sinergi antara Bank Indonesia, OJK, dan pemerintah agar dapat menciptakan sistem keuangan yang lebih tangguh, stabil, dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H