Mohon tunggu...
Tirto Sudiro
Tirto Sudiro Mohon Tunggu... wiraswasta -

seorang yang berusaha menjadi lebih baik hari ini ketika matahari masih diijinkan menemani perjalanan hidup

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

PKL : Pedagang Kaki Lima ?

12 Agustus 2013   08:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:25 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Istilah kaki lima mengacu pada masa kolonial Belanda dimana setiap jalan raya harus menyediakan sarana pejalan kaki selebar kurang-lebih 5 kaki atau sekitar 1-1,5 meter. Istilah yang berkembang sekarang dengan nama trotoar atau pedestrian. Penyediaan sarana ini baik dan melindungi pejalan kaki dari hilir-mudik kendaraan di jalan raya. Idealnya sarana ini dibuat dengan tingkat keamanan dan kenyamanan yang memadai. Tetapi kenyataannya sungguh memprihatinkan. Mayoritas trotoar sekarang tidak memenuhi unsur keamanan dan kenyamanan, bahkan banyak kota yang menggusur trotoar untuk pelebaran jalan atau membangun bangunan lain yang dinilai lebih menguntungkan. Ketika trotoar masih berfungsi dengan baik dan banyak orang yang berlalu-lalang menjadikan tempat ini sebagai incaran pedagang keliling untuk sekedar mangkal. Dahulu mereka cuma membawa pikulan dagangan dan berjualan hanya sesaat singgah di trotoar. Perkembangan kota dan makin banyaknya orang yang berlalu-lalang semakin menambah jumlah pedagang. Dari mereka yang awalnya hanya membawa pikulan kemudian menggelar alas berjualan dan juga membawa gerobak. Barang-barang yang dijual juga mulai bermacam-macam. Dari yang awalnya hanya berjualan makanan dan minuman selingan pelepas lapar dan dahaga sampai akhirnya segala macam barang dijual diatas trotoar. Sikap permisive pemerintah menjadikan pedagang semakin kebablasan. Dimulai dengan dibiarkannya kios-kios rokok kemudian warung-warung tenda dan seterusnya sehingga mulailah menjamur bangunan semi permanen dan permanen menutup trotoar yang seharusnya menjadi hak pejalan kaki. Tidak cukup hanya berjualan di trotoar lalu badan jalanpun mulai dijarah untuk menggelar dagangan. Lagi-lagi, pembiaran dilakukan oleh pemerintah dan bahkan pemerintah (aparat dan oknum?) mengambil keuntungan dari para pedagang ini. Dengan membayar upeti kepada aparat melalui perantara alias preman atau jagoan lokal, para pedagang dibiarkan untuk bebas berjualan tanpa sanksi apapun. Kalau melihat sedikit "sinopsis" diatas, pantaskah mereka disebut pedagang kaki lima ? Mereka tidak lagi berjualan diatas trotoar, mereka tidak lagi sekedar singgah di trotoar, mereka merampas hak pejalan kaki, mereka menyerobot badan jalan. Apakah masih layak mereka dibela dengan alasan mereka "orang kecil" ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun