Mohon tunggu...
Tirto Setiawan
Tirto Setiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Program Studi Ilmu Politik, FISIP UIN Jakarta

Mas-mas biasa.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kontroversi Tak Berujung atas Omnibus Law

21 Desember 2021   03:45 Diperbarui: 21 Desember 2021   03:49 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Omnibus Law. (KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

Dalam rapat paripurna MPR pada 20 Oktober 2019, Presiden Jokowi berbicara tentang rencana implementasi Omnibus Law, yang bertujuan untuk mengatasi masalah terkait implementasi dan penyelesaian sebagian masalah .Dalam versi Jokowi, Omnibus Law berwujud sebagai undang-undang yang di dalamnya mengatur beberapa hal kemudian dirangkum untuk mempersingkat beberapa aturan yang ada.

Omnibus Law langsung menjadi kontroversi khalayak ramai, karena pada penyusunannya, landasan sosiologi terlihat tak memprioritaskan hajat orang banyak, justru malah mengutamakan tumbuhnya ekonomi dalam waktu singkat. Dipandang dari aspek pragmatis, suatu keluaran hukum harus ditujukan untuk membentuk keperluan masyarakat demi kemaslahatan bersama. 

Perbedaan seperti itu antara negara dan masyarakat semestinya tidak muncul. Pemerintah harus sejalan dengan produk realitas khalayak dan kepentingan masyarakat, tidak hanya hajat sekelompok kalangan. Hal ini tertuai dalam Pasal 10 Ayat (1e) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pengesahan Undang-Undang yang isinya meliputi pemenuhan kebutuhan sosial.

Hal formal lain terkait penyusunan Undang-Undang Cika adalah berbagai macam topik muatan yang berbeda dibahas dalam satu waktu tanpa pembahasan tiap bagiannya. RUU Cika berbasis hukum yang serasi bersama peraturan perundang-undangan UU P3. Akan tetapi, apabila melihat subjek dalam lampiran Undang-Undang Cika, atensi tersendiri harus diberikan berkaitan dengan ragam PERPUU Rancangan Undang-Undang a quo. Hal ini disebabkan adanya ambiguitas terhadap PERPUU Rancangan Undang-Undang a quo.

Pekerja (buruh) sebagai kelas sosial telah membuat langkah besar dalam gerakan politik dalam beberapa tahun terakhir. Sampai sekarang, kelas pekerja menuntut agar rotasi pemerintahan dilakukan, karena dinilai dikendalikan oleh kaum borjuis dan/atau partai penguasa. Karakter utama para elit dan partai borjuis menjadi jelas melalui politik, yang mengekang hak dan kewajiban masyarakat pada sektor politik, ekonomi, budaya dan hukum. 

RUU ini dipaksakan secara gagasan, sosiologi dan hukum lahir atas tujuan investasi daripada keperluan masyarakat dan kepentingan hukum. Pemerintah menarik perhatian masyarakat dengan sedemikian rupa agar menyetujui Rancangan Undang-Undang Cika, tanpa menunjukkan seberapa rapuh kedaulatan ekonomi dan politik NKRI. Kita dapat melihat komplotan secara jelas mencederai rakyat dan UUD 1945 dalam mencapai tujuan membela hajat rakyat. Dan sampai seluruh Undang-Undang disahkan, beberapa kontroversi terus terjadi atas keputusan yang "belum selesai".

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun