Salah satu gejala pada penderita schizophrenia adalah adanya waham (delusion), yaitu penderita percaya kepada suatu hal meskipun hal tersebut berbeda dari kenyataan. Selain dengan obat obatan anti psikotik, penderita schizophrenia perlu dibantu juga mengatasi waham atau delusinya.
Langkah pertama mengatasi waham adalah dengan mencegahnya agar tidak muncul lagi. Penderita schizophrenia perlu mengenal kapan waham itu mulai muncul (misalnya muncul setelah kebanyakan bergadang atau minum alkohol) dan faktor pemicunya (misalnya: bertengkar dengan keluarga). Dengan menghindari faktor faktor tersebut, diharapkan munculnya waham bisa dihindari.
Sebagai tambahan, penderita schizophrenia perlu juga mendapat terapi kognitif. Untuk menjelaskan tentang apa itu waham dan bagaimana mengatasinya dengan terapi kognitif, kita perlu kembali ke teori A B C (A= actual event, kejadian yang sebenarnya terjadi, B= belief, apa yang dipercayai dan C= consequence, konsekuensi atau akibat dari B tersebut).
Misalnya:
Ada kejadian sebenarnya A = pasien ketemu dokter yang mengobatinya di koridor rumah sakit. Dokter tersebut menyapanya namun tidak tersenyum
Pasien kemudian percaya B (belief) = pak Dokter tidak mau ketemu saya lagi, atau percaya bahwa B = pak dokter mengira saya setan, saya sudah tidak punya ruh lagi
Sebagai akibatnya, maka psien mengalami C(konsekunsi) = gelisah, tidak tenang
Kejadian lain:
Kejadian sebenarnya, A = mendapat jatah piring giliran makan malam paling akhir
Pasien kemudian percaya B = mereka sengaja memberi giliran makan paling akhir kepada saya karena saya setan, ruh saya sudah mati
Sebagai akibatnya maka C = frustasi, gelisah
Terapi kognitif berupaya untuk mengubah B (belief) sehingga akan menghasilkan C yang berbeda pula. Tentunya ini bukan pekerjaan gampang. Sangat tergantung kepada seberapa besar dokter atau psikolog bisa mendapat kepercayaan dan penghormatan dari si penderita.
Penderita schizophrenia biasanya punya beberapa kelainan pola pikir sehingga mereka menilai atau menginterpretasikan suatu kejadian secara negatif atau tidak sehat. Beberapa pola pikir tidak sehat tersebut, antara lain:
- loncat ke kesimpulan. Penderita schizophrenia sering malas mengumpulkan data pendukung. Mereka sering loncat ke kesimpulan tanpa merasa perlu mencari data pendukung kesimpulannya tersebut.
- Attribution biases. Penderita schizophrenia cenderung menyalahkan orang lain bila sesuatu hal jelek terjadi pada diri mereka (bukan menyalahkan diri sendiri atau menganggap hal tersebut sebagai kebetulan)
- Deficit in theory of mind. Penderita schizophrenia sering tidak bisa memahami jalan pikiran, niat atau motif orang lain. Hal ini terutama bila kondisinya sedang parah dan pada penderita dengan gejala negatif yang menonjol.
- Pola pikir negatif lainnya yang sering muncul pada penderita depresi, seperti berpikir hitam-putih, overgeneralization, dan lain lain.
Pada terapi kognitif, penderita diminta mengembangkan berbagai alternatif pemikiran (B) atau mengembangkan pemikiran yang seimbang. Psikolog bisa mnegajukan pertanyaan seperti: apakah ada penjelasan yang lain dari kejadian tersebut? Misalnya dari pada berkata (atau percaya) bahwa “dokter tidak tersenyum karena saya sudah tidak punya ruh)”, maka penderita bisa diajak untuk mengembangkan pikiran lain, misalnya: “Pak dokter sedang banyak pikiran, sibuk sampai lupa membalas salam tanpa senyum”. Atau pikiran atau percaya kepada sesuatu pemikiran yang lebih seimbang:” Tumben pak dokter tidak tersenyum, padahal biasanya ramah sekali. Pasti sedang sibuk dan banyak pikiran”.
Dengan mengubah B yang negatif menjadi B yang lebih seimbang, maka penderita schizophrenia akan dapat mengatasi delusi (waham) sedikit demi sedikit. Dalam terapi kognitif, waham yang ringan diatasi terlebih dahulu sebelum menggarap waham yang lebih berat atau sulit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H