Karena angin pasat yang hangat, permukaan laut biasanya lebih tinggi sekitar 0,5 meter dan 7,2 C lebih hangat di Indonesia dibandingkan di Ekuador. Pergerakan air hangat ke arah barat menyebabkan air dingin naik ke permukaan di pantai Ekuador, Peru, dan Chili. Proses ini dikenal sebagai upwelling.
Upwelling mengangkat air dingin yang kaya nutrisi ke zona eufotik, lapisan atas lautan. Proses upwelling juga mempengaruhi iklim global. Suhu laut yang hangat di Pasifik bagian barat berkontribusi terhadap peningkatan curah hujan di sekitar pulau Indonesia dan Papua New Guinea.
Tapi, selama peristiwa El Nio, angin pasat yang bertiup ke arah barat melemah di sepanjang Khatulistiwa. Perubahan tekanan udara dan kecepatan angin ini menyebabkan air permukaan yang hangat bergerak ke arah timur sepanjang Khatulistiwa, dari Pasifik barat hingga pantai Amerika Selatan bagian utara.
Air permukaan yang hangat ini memperdalam termoklin, lapisan dalam perairan laut yang memisahkan air permukaan yang hangat dari air dingin di bawahnya. Saat terjadi El Nio, termoklin bisa turun hingga kedalaman 152 meter.
Lapisan air hangat yang tebal ini tidak memungkinkan terjadinya upwelling secara normal. Tanpa adanya upwelling, hujan tidak turun seperti biasanya di Indonesia.
Sederhananya, El Nio membawa hujan ke Amerika Selatan dan menyebabkan kekeringan di Indonesia. Kekeringan ini mengancam pasokan air, karena air waduk mulai berkurang dan aliran sungai menjadi rendah. Pertanian, yang bergantung pada air untuk irigasi juga terancam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H