Ketegangan hubungan antara Rusia dan Ukraina telah meningkat selama beberapa bulan terakhir. Peningkatan tensi hubungan yang disebabkan karena adanya invasi yang dilakukan oleh Rusia pada 24 Februari 2022 lalu ini terhitung telah berlangsung lebih dari tujuh bulan. Kala itu, pemerintah Rusia menginvasi Ukraina dengan mengerahkan puluhan ribu tentara yang dilengkapi berbagai peralatan tempur.Â
Akibat dari invasi tersebut, per tanggal 3 Maret 2022, Ukraina melaporkan bahwa 2000 warga sipil Ukraina tewas. Selain itu, UNHCR juga melaporkan bahwa sebanyak 385 ribu warga Ukraina meninggalkan negaranya untuk mengungsi.
Rusia kala itu mengklaim bahwa invasi yang dilakukannya merupakan bentuk pembelaan diri dan hal tersebut sesuai dengan Pasal 51 Piagam PBB. Namun PBB beserta negara-negara Barat membantah klaim Rusia ini dengan menyatakan bahwa invasi yang dilakukan Rusia bertentangan dengan Pasal 2 Piagam PBB yakni "semua anggota (PBB) harus menahan diri dalam hubungan internasional mereka dari ancaman atau penggunaan kekerasan...".
Menanggapi konflik serius yang terjadi ini, pada 25 Februari 2022 Dewan Keamanan PBB (DK PBB) mengeluarkan resolusi tentang pengecaman dan penyeruan penarikan pasukan Rusia dari wilayah Ukraina. Namun pada saat itu pula, Rusia menggunakan hak vetonya untuk menolak resolusi DK PBB tersebut. Karena hal itu, Majelis Umum PBB akhirnya memutuskan untuk mengadakan sesi khusus darurat.
Sesi khusus darurat ke-11 Majelis Umum PBB terkait invasi Rusia ke Ukraina diadakan pada tanggal 28 Februari 2022 hingga 2 Maret 2022. Sebanyak 193 negara termasuk Indonesia hadir dan diberi kesempatan untuk menyampaikan suara mereka terkait invasi Rusia ke Ukraina. Suara dari negara-negara yang hadir ini kemudian dirundingkan untuk dijadikan sebuah draf resolusi.Â
Saat sesi voting diadakan pada tanggal 2 Maret 2022, Indonesia menjadi salah satu negara yang menyetujui draf resolusi yang berisi kecaman atas invasi Rusia ke Ukraina. Disetujui oleh 141 negara, Draf Resolusi Majelis Umum PBB A/ES-11/L.1 resmi diadopsi pada 2 Maret 2022.
Poin penting yang ada dalam Resolusi Majelis Umum PBB A/ES-11/L.1 antara lain: menuntut Rusia untuk berhenti menggunakan kekuatannya dan menarik seluruh pasukannya dari Ukraina; mengutuk pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional dan pelanggaran terhadap HAM; serta mendesak penyelesaian konflik antara Rusia dan Ukraina agar dilakukan secara damai.
Sikap Indonesia yang memilih untuk menyetujui Resolusi Majelis Umum PBB A/ES-11/L.1 mendapatkan berbagai tanggapan dari para pengamat. Ada yang beranggapan bahwa sikap Indonesia merupakan sikap yang sudah tepat karena berdasar kepada kemanusiaan. Namun, ada juga yang berpendapat sebaliknya.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menganggap bahwa sikap yang diambil Indonesia terhadap resolusi tersebut membuat Indonesia seolah-olah berposisi sebagai hakim. Padahal sikap sebuah negara pasti didasari oleh hal tertentu termasuk sikap Rusia. Beliau juga menyebut bahwa sikap Indonesia diartikan sebagai sebuah "pengekoran" Indonesia kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Lebih lanjut, Indonesia dianggap telah melupakan sejarah, padahal dahulu posisi Indonesia terhadap Timor Timur sama dengan posisi Rusia saat ini terhadap Ukraina. Beliau juga menganggap sikap yang diambil oleh Indonesia tidak sesuai dengan arahan Presiden RI.
Tanggapan tersebut ditepis oleh Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia. Kemlu menyatakan bahwa sikap yang diambil oleh Indonesia terhadap resolusi PBB bukan karena "mengekori" Amerika Serikat. Indonesia tidak dapat disebut mengekori Amerika Serikat karena Indonesia turut andil dalam proses penyusunan draf resolusinya. Indonesia bukan pihak yang hanya "terima jadi" resolusi tersebut.