[caption id="attachment_292383" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/ Admin (http://skpdkalteng.tataruang.org/kab-gunung-mas)"][/caption] Menanggapi pemberitaan tersangkutnya HB, Bupati Gunung Mas (Gumas), dalam kasus Operasi Tangkap Tangan KPK. Saya secara pribadi, selaku warga Gumas, meminta maaf pada seluruh rakyat Indonesia, terkhusus kepada para Kompasianers. Untuk sebagian orang mungkin belum pernah mendengar tentang sebuah wilayah yang dinamakan Kab. Gunung Mas ini. Karena memang tidak terlalu terkenal, terkenalnya baru sekarang, setelah pemimpinnya mendadak KPK. Memang cukup mengagetkan karena sebenarnya Gunung Mas sendiri baru saja mendapat gelar WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) oleh BPK. Predikat tersebut di dapat sewaktu masih dibawah pimpinan HB-ASD, yang saat ini sedang heboh di media-media mainstream. Saya sendiri, tidak akan memfokuskan tulisan pada kasus yang sedang dihadapi petinggi Gumas tersebut. Karena sudah banyak diulas dalam tulisan-tulisan kompasianers yang lain. Saya hanya akan menuliskan sedikit tentang Gunung Mas, sang kabupaten yang belum terkenal. Kabupaten Gunung Mas, merupakan kabupaten pemekaran setelah sebelumnya masuk di dalam kawasan wilayah Kab. Kapuas. Kabupaten seluas 10.804 km2 ini, memiliki penduduk dengan jumlah 96.990 jiwa (2010). Terdiri dari 12 kecamatan, dengan mayoritas penduduk Suku Dayak Ngaju, dan sebagian Suku Dayak Oot Danum yang merupakan suku asli wilayah ini, serta sejumlah kecil suku pendatang seperti Suku Jawa, Suku Batak, Suku Banjar, dll. Gunung Mas dialiri oleh dua sungai besar yaitu Sungai Kahayan dan Sungai Rungan. Dimana Sungai Kahayan sendiri bermuara di Kota Palangkaraya, yang merupakan Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah. Gunung Mas memiliki sejarah yang begitu penting bagi semua Suku Dayak di kalimantan. Dimana di salah satu desa yang masuk ke dalam wilayah Gunung Mas, yaitu Desa Tumbang Anoi, disanalah sejarah kelam tradisi 'mengayau' diakhiri. Tradisi 'mengayau' merupakan merupakan tradisi memotong kepala musuh, dimana kepala yang dipotong akan dipakai sebagai pelengkap syarat membangun rumah, jembatan, dan banyak lagi lainnya, termasuk juga untuk syarat acara 'tiwah', yaitu sebuah tradisi mengantar arwah leluhur yang sudah lama meninggal ke 'lewu tatau' (surga dalam kepercayaan Hindu Kaharingan). Nah, tradisi 'mengayau' ini dulunya dijadikan sebagai ajang balas dendam oleh sesama sub suku, sehingga suku Dayak diseluruh Kalimantan dahulu tidak bisa bersatu. Hal ini ternyata juga merepotkan pihak Belanda, penjajah pada masa itu. Karena para misionaris banyak yang dibunuh, dipotong kepalanya oleh suku-suku pedalaman Kalimantan ini. Seorang tokoh Dayak Ot Danum, yang dikenal sebagai Damang Batu, berinisiatif untuk mengumpulkan semua suku-suku yang ada di Kalimantan. Dengan alasan bahwa akan sulit untuk melawan penjajah jika sesama suku penghuni tanah Borneo sendiri saling berperang. Sehingga melalui berbagai proses, akhirnya pertemuan diselenggarakan kira-kira selama satu bulan. Pertemuan itu dikenal sebagai Rapat Tumbang Anoi, yang juga disaksikan oleh pihak Belanda sendiri. Dalam rapat itu disepakati Hukum-hukum Adat, yang saat ini masih dipakai oleh Suku Dayak. Selain itu, dalam rapat juga diadakan sebuah Sidang Adat besar-besaran yang pada saat itu menyelesaikan ratusan kasus-kasus yang terjadi sebelum suku-suku bersatu. Singkat cerita akhirnya seluruh suku yang mendiami Kalimantan dapat bersatu, menjadi sebuah suku besar yang dinamakan Suku Dayak. Lebih lengkapnya tentang Rapat Tumbang Anoi, silahkan anda cari sendiri di lacinya om google. Hehehee. ------------------- Sumber tulisan: 1. Cerita dari mulut kemulut masyarakat Dayak. 2. Pengalaman dan pengetahuan pribadi. 3. Situs resmi kab. Gunung Mas: www​.gunungmaskab.go.id/ 4.Wikipedia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H