Aditirajasa, No. 84.
Rasa iba yang begitu mendalam itulah yang akhirnya memotoriku. Membuatku tanpa sadar melompat ke samping dan mendorong gadis itu. Tak ayal akhirnya tubuhku pun menerima hunjaman timah panas yang diletuskan oleh beberapa begal yang lebih mirip psikopat itu. Seisi ruang sepertinya mengalami keterkejutan serupa. Termasuk pria jas putih berambut panjang yang sedang mencekik leher Tuan Arya, pemilik perusahaan minyak yang sedang berlibur di kota kami.
Lelaki itu menoleh tanpa melepas cengkraman tangannya. Ia memandangku dengan sinis seolah kekonyolan yang kulakukan adalah suatu kebodohan yang menjijikkan baginya.
Cuih!
Ia meludah. Lalu kembali memandangi Tuan Arya yang tersiksa lantaran tak mampu bernafas normal.
“Sepertinya anakmu beruntung Arya”, kata-katanya dingin, “Ada seekor kecoak berani mengganggu kesenanganku”, lanjutnya.
“Kau masih belum menyerah Arya? Apalah artinya 100 juta dolar buatmu dibanding nyawa anakmu yang manis itu?”, Ia memandang hina Tuan Arya yang sedari tadi sudah mengucurkan banyak sekali keringat dan air mata.
Lagi ia menoleh padaku.
“Hei cecunguk, kau belum mati?”, kali ini ia heran melihatku. Aku tersenyum pahit.
“Cepat matilah kau mengganggu pestaku!” mimiknya kini berubah membenciku.
Yang kurasakan hanyalah sebak di dada. Aku mengatupkan rahangku dengan kuat untuk mengurangi rasa sakitnya, berusaha untuk tetap sadar. Sementara gadis semampai yang aku dorong tadi merangkak mendekatiku. Air matanya tak henti mengucur di permukaan pipinya yang tirus.
“Menjauh..lah...” bisikku lirih.
Ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya, terkejut melihat darah segar yang mengalir dari lubang-lubang kecil di seputaran dada dan perutku yang sekarang jelas terlihat dari dekat.
“Hei cebol! Kau dengar apa yang diperintahkah Tuan Gatot tidak?”, salah satu anak buah Gatot menghardikku. Ia melangkah dengan cepat lalu menyeret dan menghempaskanku. Hal itu dengan mudah ia lakukan karena memang posturku yang pendek dan gempal. Sementara pria itu tinggi dan besar.
“Hentikan!”, Puteri Arya berteriak berusaha menolongku, ia menghalangi sang pria yang sedang berusaha menendangku. Namun sia-sia pria itu jauh lebih kuat darinya.
Aku hanya bisa mengerang sakit. Berguling ke kiri dan ke kanan sebagai usaha menghilangkan siksaan itu, namun muskil.
Grusakk!
Gatot menghempaskan Tuan Arya ke belakang. Sementara gesturnya memerintahkan salah satu anak buahnya untuk mengawasi Tuan Arya. Ia melangkah mendekatiku. Menarik kaos oblongku dang mengangkat separuh badanku.
“Alot sekali nafasmu? Makhluk macam apa kau ini?”, Ia mengernyitkan dahinya. Keberadaanku yang sekarat namun tak kunjung mati ini begitu menarik perhatiaannya. Sementara ia lupa dengan niatnya. Mengancam ingin membunuh anak istri Tuan Arya di hadapan pria tua itu demi mendapatkan kekayaan instan dengan memeras.
Aku sungguh tak percaya.
Arya memperkenalkan Gatot padaku sebagai seorang manejer yang baik dan ramah. Pria ini katanya loyal dan disiplin tinggi. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan Tuan Arya selalu ia kelola dengan baik. Sungguh tak dapat diduga ternyata liburan ini justru menjadi sebuah bencana bagi Tuan Arya. Gatot telah berhasil menjebaknya, di lobi sebuah hotel!
Gatot memberi kode pada anak buahnya. Sesaat kemudian ia sudah menggenggam sebuah belati di tangan kanannya.
“Arya, aku punya ide”, katanya manggut-manggut, “Bagaimana jika aku suguhkan demo gratis dulu sebelum kulakukan hal yang sama pada anak-istrimu? Kau ingin lihat kan, bagaimana seekor kambing disembelih?”, ia terkekeh seram.
Tuan Arya hanya menggeleng tanpa mampu berucap. Ia meraung memohon iba. Sesaat ia melirik anaknya yang juga terisak tak berdaya.
Sekali lagi Gatot menertawai kekalutan Tuan Arya. Orang ini benar-benar sakit jiwa! Ia begitu menikmati semua aksinya. Gatot belum puas dengan tewasnya penjaga hotel dan beberapa sipil yang ditembak sadis oleh anak buahnya. Ia ingin melakukan hal yang lebih brutal lagi.
Menggorok leherku!
“Bagaimana kecoak? Sudah siap?”, tanyanya padaku. Sementara aku hanya tersenyum tipis.
“Maaf Gatot. Aksi gilamu cukup sampai disini saja”, kataku.
Ia hening sejenak, lalu tertawa terbahak-bahak.
Aku memejamkan mata dan bernafas panjang.
“Release!” kataku.
*****
Setahun yang lalu aku sedang menikmati pemandangan aliran sungai kahayan. Airnya memang keruh karena tambang liar yang bertebaran sepanjang sungai itu. Namun pesonanya masih saja tetap sejuk. Hal ini dikarnakan masih banyak pepohonan rimbun nan hijau yang berbaris rapi di sisi-sisinya. Termasuk dimana aku sedang duduk saat ini.
Aku mendongak melihat buah durian yang masih sangat muda bergelayutan di atas sana. Beberapa bulan lagi aku akan menikmati rasa manis dan lembutnya daging durian dari pohon ini. Aku tersenyum lebar menikmati khayalanku, apalagi hembusan angin yang sepoi begitu menyegarkan pori-poriku.
Sedetik kemudian aku dikejutkan oleh sesuatu yang jatuh menerobos dedaunan diatas sana. Reflek kututupi kepalaku takut benda itu itu menimpaku.
Grusakk! Bukk!
Benda itu tepat jatuh di sampingku. Awalnya kukira durian layu yang jatuh tertiup angin, tapi ternyata bukan. Benda itu lebih mirip telur yang berbalut logam. Aku memeriksanya dengan seksama, lalu mendongakkan lagi kepalaku. Berusaha untuk mencari bentuk yang mirip di atas sana. Namun tak kudapatkan. Tak ada buah yang berbentuk seperti benda ini!
Angin tiba-tiba bertiup kencang. Gejala akan hujan lebat sekarang nampak. Aku terlalu asik sehingga tak menyadarinya. Dedaunan lebat di atas sana menghalangiku untuk melihat sekumpulan awan hitam yang sudah terlukis.
Segera aku berlari.
Benda itu lepas dari genggamanku. Aku membiarkannya karena tidak ingin kebasahan. Nanti saja kuambil lagi, pikirku. Sesaat kemudian, sekumpulan besar air bening tercurah dari angkasa. Membasahi setiap inchi tanah beserta segala sesuatu diatasnya.
Beberapa puluh menit kemudian hujan berubah gerimis dan berakhir reda. Aku mengeluarkan separuh badanku dari jendela. Memeriksa benda yang kutemukan tadi.
Astaga!
Saat itulah aku dikejutkan oleh pemandangan ajaib. Tepat dimana benda tadi jatuh, sudah tumbuh sebatang tumbuhan yang rupanya mirip pohon toge, namun dalam ukuran raksasa. Kurang lebih dua meter tingginya. Kulitnya kasar berbalut logam namun tak mengkilat. Tepat dipucuknya bertengger sekuncup bunga kemerahan yang juga dibalut logam.
Aku yang takjub berlari mendekati. Menggenggam smartphone-ku berusaha memfotonya.
Cklek!
Aku berhasil mengabadikannya. Benar – benar luar biasa. Tumbuhan apa ini? Batinku.
Kejadian selanjutnyalah yang tidak dapat kulupa. Tumbuhan asing itu menganga lalu mengeluarkan seutas sinar yang mirip tentakel. Sinar itu menembus jantungku. Membuat sekujur tubuhku kaku dan mati rasa. Sejurus kemudian aku sudah tak sadarkan diri.
*****
“Gyahahahaa...!”, Gatot terbahak sangar. Ia memperlakukanku seperti seekor cacing. Sementara puteri Tuan Arya terdengar membisikkan namaku dengan lirih. Namun seketika itu pula menjadi hening saat melihat keanehan pada tubuhku.
Seluruh kulit disekujur tubuhku mengelupas seperti balutan kain kasa yang lepas dari lilitannya. Menjuntai dan melambai-lambai ke segala arah. Gatot melompat terkejut. Ia melotot melihat kejadian ini.
Untaian kulit yang mirip perban ini berputar-putar lepas dari tubuhku. Menggulung-gulung bersama kibasan angin dan pendar cahaya putih. Perputaran itu akhirnya berhenti. Meninggalkan siluet tubuhku yang bermetamorfosis. Sekarang posturku tidaklah lagi pendek, melainkan berubah menjadi sekitar 180cm dengan otot-otot yang menghiasi setiap lekuk tubuhku. Baju celanaku yang tadinya gober dan panjang, sekarang menjadi ketat menempel. Tidak berubah, lubang bekas pelurupun masih ada!
Kecuali tubuhku. Tak ada lagi luka itu. Tak ada lagi darah yang mengalir.
“Hmm”, aku tersenyum. Segenggam proyektil yang bersarang ditubuhku tadi kuhamburkan ke lantai.
Gatot tak berlama-lama untuk segera meneriakkan “Tembak dia!”, ia begitu panik menyaksikan hal yang muskil ini.
Tadinya aku pun begitu. Panik! Namun buah berbentuk telur logam itu telah memberi wawasan tentang semua hal aneh ini. Energi yang dihasilkan oleh pohon itu dinamakan ‘essence’. Ia membawa segala informasi tentang rahasia tubuh manusia, mengubahnya menjadi tubuh sempurna, dengan organ-organ yang sempurna, jantung yang sempurna, dan aliran darah yang sempurna.
Seketika ratusan peluru berhamburan, tapi anehnya yang kulihat hanya seperti gerakan lambat logam-logam kecil. mudah kuhindari. Bergerak mendekat dan membengkokkan senapan mereka. Memukul organ-organ vital tubuh para bajingan itu. Sampai beberapa memuntahkan busa putih dari mulutnya dan puluhan lainnya menyemburkan darah. Tiga detik kemudian aku sudah ada didepan Gatot. Menonjok mulutnya sehingga beberapa gigi depannya patah.
“Uhuuhhkk”, katanya kaget. Ia menatapku kalap, belati yang ia genggam ia ayunkan ke arahku. Kemudian terkejut karna belati itu sudah berpindah tangan padaku.
“Si..siapa kau?”, kali ini ia gemetar ketakutan.
Aku tersenyum.
“Seventh”, kataku seraya mengayunkan ‘jab’ ke arah rahangnya. Gatot terpental dan pingsan.
Aku menarik nafas. Baru saja kulakukan hal terlarang bagiku. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Semua orang kini mengetahui rahasia ini. Aku tak akan bisa lagi menghindari pertemuan dengan mereka.
Ya, mereka!
Para pemilik ‘essence’ sepertiku.
........................
Untuk melihat karya peserta lainnya silahkan menuju akun fiksiana comunity.
Bergabunglah dengan fiksiana comunity di facebook
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H