Di sebuah negeri hiduplah suatu kaum yang hendak menjalankan ibadah puasa selama satu bulan. Jauh sebelum saatnya tiba mereka -seperti kebiasaannya- ribut mengingatkan orang lain yang kebetulan berbeda keyakinan dengan mereka. Mereka wanti-wanti agar semua warung makan tutup. Tidak ada alasan, pokoknya tutup! Hargai kami!Â
Mereka mengkondisikan supaya puasa mereka nyaman, agar bisa beribadah dengan tenang walaupun caranya harus memaksa orang lain yang tidak sehaluan. Mereka minta dihormati dan dihargai karena berpuasa. Puasa adalah ibadah menahan nafsu, berhubung orang-orang cengeng ini gampang digoda bau harum makanan dan segarnya minuman maka alih-alih melatih diri supaya lebih kuat, mereka merajuk dan memaksa orang lain menyesuaikan diri. Gampang saja berbuat begitu karena mereka mayoritas.
Namun di antara kaum cengeng dan manja itu masih ada yang waras, lebih dewasa dan lebih tinggi pula ilmu agamanya. Bagi orang-orang ini puasa yang masih meributkan makan minum itu puasa level anak SD. "Sepele kayak gitu aja koq diributin," dan si cengeng manja mendapat tatapan kasihan plus hina.
Sama-sama puasa tapi yang satu ngemis-ngemis minta dihargai dan memaksa orang lain menyesuaikan, yang satu lagi beribadah tanpa memaksa dunia luar berubah. Baginya makin berat ujiannya makin tinggi makna kelulusannya. Sebutir intan tidak akan bersinar sebelum digosok dan dipotong. Kira-kira mana yang bobotnya lebih tinggi?
Cara menghargai umat beragama lain adalah dengan memberikan mereka kesempatan beribadah. Bukan dengan memaksa rumah makan tutup. Anda bisa berpuasa atau tidak bukan dengan melihat restoran terdekat buka atau tutup.
Puasa adalah ibadah sunyi. Tak perlu gembar-gembor segala.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H