Artikel yang ditulis Rhenald Kasali mengenai manajemen blusukan seperti mewakili pertanyaan yang selama ini mengendap di dalam. Â Apapun namanya: blusukan/ genba / cek lapangan/ turba (turun ke bawah) adalah sesuatu yang bukan hanya wajar tapi wajib dilakukan seorang pemimpin. Siapapun ia dan apapun posisinya, apakah di pemerintahan atau swasta, Â tidak peduli ia team leader, kepala cabang, manager atau CEO, selama ia punya staff maka sesekali ia perlu mengontrol sendiri hasil kerja bawahannya. Cross check, harus mendengar dari dua sisi bukan hanya satu. Bahkan sekalipun ia seorang pemilik toko, ia perlu memeriksa apakah bawahannya sudah mengantar barang pesanan konsumen dengan benar, apakah pembayaran tagihan sudah dilakukan sesuai instruksi. Siapa tahu uangnya dimakan sendiri?
Tapi kenapa ketika hal itu dilakukan seorang mantan pengusaha mebel ada saja yang mencibir sinis? Cibiran itu muncul setelah ia terpilih menjadi DKI-1 dan semakin hebat saat maju menuju RI-1. Pencitraan, kata yang selalu diumbar dengan nada sinis.
Bung, pencitraan itu adalah tiba-tiba mengunjungi kampung miskin dengan membawa pasukan segambreng tanpa ada kelanjutannya, bukan menunggui perbaikan tanggul tengah malam. Pencitraan adalah menengok korban bencana alam berbulan-bulan setelah kejadian bukan memperbaiki taman yang rusak diinjak-injak massa gara-gara es krim gratis.
Kalau anda ke lapangan, berdialog dan menyuruh ajudan mencatat ini itu tapi tidak ada tindak lanjutnya, itulah pencitraan. Anda tidak sungguh-sungguh ingin menyelesaikan masalah melainkan hanya mencoba terlihat peduli.
Lain ceritanya jika hasil audit lapangan itu kemudian menjelma menjadi rancangan solusi diikuti rencana kerja dengan target dan waktu yang jelas serta dimonitor terus progress-nya. Itu kerja.
Ibarat make up yang hanya bertahan dua belas jam , sesuatu yang dikerjakan dengan niat membangun image tidak akan pernah bisa dilakukan terus menerus secara konsisten karena butuh effort, waktu, biaya dan kesungguhan.
Sebelum bisa menyusun solusi, lebih dulu harus mengidentifikasi masalah. Jika tidak memahami keadaan di lapangan, bagaimana mau merancang solusi yang tepat? Itulah gunanya turun ke bawah.
Perbedaan antara pencitraan dengan kerja ditentukan setelah blusukan. Ada kelanjutannya tidak? Ada rencana kerja dengan target yang jelas? Tahapannya masuk akal dan bisa dilaksanakan? Eksekusi di lapangan berjalan dan selalu dievaluasi? Periksalah dulu sebelum menghakimi. Tapi kita memang terbiasa belum apa-apa sudah berprasangka buruk. Kebiasaan jelek mengedepankan emosi ketimbang akal sehat.
Jika anda memimpin maka melihat sendiri apa yang terjadi di lapangan mutlak perlu karena ketika ada fakta yang tak sesuai data, semua telunjuk akan mengarah pada diri anda sebagai pucuk komando. Anda tak bisa melempar kesalahan pada staff yang memberi laporan palsu sebab anda telah memilih untuk tidak menjalankan manajemen kontrol.
Aneh memang bangsa ini. Bertahun-tahun memimpikan pemimpin yang mau turun ke lapangan tapi ketika orangnya ada malah difitnah. Memimpikan pemimpin yang tegas dan taat konstitusi tapi saat muncul seorang Ahok malah dimusuhi. Mencari pemimpin yang mau memberantas maksiat tapi ketika seorang Risma akan menutup tempat prostitusi malah ditentang.
Sepuluh tahun lagi saat bangsa-bangsa Asia yang lain sudah jauh di depan, kita masih sibuk meributkan antara pencitraan dengan bekerja. Lalu masih kau bertanya kenapa bangsa ini tidak pernah maju.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI