Cermin, cermin di dinding, siapakah yang paling cantik?
Kalimat terkenal dari cerita dongeng anak-anak yang populer itu boleh jadi akan sering diucapkan ratusan juta warga NKRI jika pemimpin mereka kelak hanya melihat wajah dan melupakan profesionalitas. Hanya yang tampan dan ganteng yang boleh jadi pemimpin. Hanya yang ganteng dan cantik yang boleh menjadi polisi. Kesempatan di bumi pertiwi hanya diberikan pada mereka yang wajahnya memenuhi standar pemain sinetron, selain itu? Oh maaf, anda adalah warga negara kelas dua atau tiga. Terima saja nasib.
Kalau ketampanan saya baru muncul di atas jam 12 malam? Maaf, ini berlaku bagi mereka yang derajat kegantengannya stabil dan tidak labil. Â Jadi anda tetap warga kelas dua. Nasib.
Tengoklah sisi positifnya kita akan memiliki ketua RT yang ganteng sekalipun ia tidak becus bekerja dan hanya sibuk mengutip uang warga setiap ada kesempatan. Kita akan memiliki wakil rakyat yang cantik rupawan meskipun mungkin yang bersangkutan tidak memikirkan rakyatnya dan hanya sibuk mencari dukungan dana untuk menambah koleksi rumah, mobil dan belanja di luar negeri.
Ini diskriminasi? Oh bukan, kita sekedar mengikuti hadits nabi. You tahu apa sih? Tidak perlu tanya-tanya kan ilmu agama saya lebih tinggi, begitu kira-kira pesan yang ingin disampaikan. Â Oke baiklah, tidak perlu didebat, toh dunia bisa menilai sendiri kualitas yang bersangkutan.
Jadi bagi mereka yang kebetulan tidak dikaruniai muka tampan cantik menawan, pilihannya hanya ada tiga: 1) lekas mengambil operasi plastik, manfaatkanlah promo menjelang lebaran 2) pindah kewarga negaraan atau 3) menjadi minoritas dan siap diinjak-injak.
Mungkin nanti selain good looking, warga NKRI juga wajib mahir menunggang kuda dan menyandang gitar di punggung. Sungguh kampanye seperti ini adalah yang paling konyol, sekonyol negeri di belahan lain Asia yang mewajibkan semua laki-laki meniru gaya rambut pemimpin besar mereka.
Entah kesambet apa sampai mereka yang disebut para tokoh itu menganjurkan demikian. Mungkin kehabisan akal sampai soal wajah yang 100% pemberian Sang Khaliq dipermasalahkan, atau mungkin memang demikian agendanya. Jika yang terakhir benar adanya, apakah kita tidak akan mengulang cerita masa gelap Jerman saat seorang Hitler berusaha mewujudkan mimpinya tentang ras Arya, dalam versi berbeda tentunya.
Lepas dari itu, bolehlah kita bertanya sedikit, apakah kalian yang menganjurkan demikian memang tampan atau hanya merasa tampan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H