Mohon tunggu...
Tiopan Sipahutar
Tiopan Sipahutar Mohon Tunggu... Konsultan - Doktor Kesehatan Masyarakat

TIOPAN SIPAHUTAR, merupakan lulusan Doktor Kesehatan Masyarakat dari Universitas Indonesia. Berhasil menyelesaikan pendidikan doktor dalam 2,5 tahun, Tio (sebagai nama panggilan) sudah aktif meneliti dan bahkan menjadi aktivis penanganan stunting di beberapa wilayah di Indonesia. Hingga saat ini, aktif menjadi pengajar tidak tetap di FKM UI, menulis buku dan artikel kesehatan, dan menjadi konsultan untuk lembaga non pemerintah dan pemerintah. Beliau sudah menerbitkan beberapa tulisan ilmiah terkait stunting dan juga buku.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Memahami Case Fatality Rate di Masa Pandemi Covid-19

9 Mei 2020   22:21 Diperbarui: 10 Mei 2020   08:17 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di masa pandemi Covid19 ini, Case Fatality Rate (CFR) menjadi sebuah pembahasan yang menarik bagi banyak orang. Setiap kali membahas Covid19, mau tidak mau mata selalu tertuju kepada jumlah pasien yang meninggal. Ini menjadi sebuah tren yang baru bagi peningkatan pengetahuan pada masyarakat Indonesia terhadap ukuran besar masalah kesehatan masyarakat sebab sebelumnya, CFR hanya diketahui oleh mereka yang bergerak dalam bidang kesehatan. Sekarang, masyarakat semakin awam terhadap istilah CFR.

Di media sosial, banyak yang memperdebatkan CFR dan bahkan membandingkannya dengan negara lain seperti di Cina dan Vietnam yang hingga kini diketahui angka CFR-nya lebih rendah dibandingkan negara lain. Tidak puas sampai pada membandingkan angka, perbandingan ini kemudian diikuti dengan membandingkan kinerja pemerintah Indonesia dalam menangani pandemi dengan dalih mengapa CFR di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain. Hal lain yang juga terjadi adalah banyaknya orang menampilkan angka CFR di Indonesia di media televisi atau media sosial yang kemudian bukan justru membuat masyarakat semakin paham tetapi berpotensi menciptakan ketakutan atau kecemasan yang berlebihan. Ini menjadi salah kaprah karena masyarakat menjadi lebih terpaku terhadap angka CFR -nya dibandingkan informasi lain yang ada di balik CFR tersebut. Oleh karena itu, sangat penting memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang apa yang dimaksud dengan CFR dan apa kelemahannya.

Case Fatality Rate merupakan sebuah ukuran untuk menunjukkan tingkat keparahan suatu penyakit. CFR didefinisikan sebagai proporsi kasus dengan penyakit atau kondisi tertentu yang meninggal dalam waktu tertentu. Umumnya, CFR disajikan dalam bentuk persentase. CFR lebih banyak digunakan untuk menggambarkan tingkat keparahan penyakit infeksi akut seperti Covid19 saat ini. Dalam konteks pandemi Covid19, CFR dapat dihitung dengan membagikan antara jumlah pasien Covid19 yang meninggal dengan total jumlah pasien yang terinfeksi Covid19. Jumlah pasien Covid19 yang meninggal disebut sebagai numerator sedangkan total jumlah pasien yang terinfeksi Covid19 disebut sebagai denominator.

Angka CFR sampai tanggal 27 April 2020 adalah sekitar 8,4%. Angka ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara lain seperti Singapura, Malaysia atau bahkan China; namun demikian, sangat penting bagi masyarakat untuk berhati-hati dalam menginterpretasikan dan membandingkan CFR dengan negara lain. Jangankan dengan negara lain, perbandingan CFR antar provinsi di Indonesia saja berbeda-beda. Perbedaan ini sangatlah wajar, mengingat karakteristik wilayah di Indonesia berbeda-beda.

Perhitungan CFR sangat sensitif terhadap denominator; dimana semakin besar denominator maka semakin kecil CFR- nya. Angka CFR setiap hari dapat berubah-ubah sesuai dengan denominator-nya yang dalam hal ini adalah jumlah orang yang dikonfirmasi positif berdasarkan pemeriksaan dengan metode real time PCR. Beberapa faktor tentu sangat mempengaruhi angka CFR yang kita lihat setiap hari. Seperti yang kita ketahui, virus Covid19 merupakan virus yang masih baru yang masih terus diteliti. Banyak informasi yang masih belum diketahui tentang virus ini. Kapasitas pelayanan kesehatan, ketersediaan tenaga kesehatan, alat pelindung diri, alat pemeriksaan untuk penegakan diagnosis serta kesiapan pemerintah pusat dan daerah menjadi beberapa faktor yang juga mempengaruhi terhadap angka CFR.

Salah satu contoh faktor yang mempengaruhi terhadap angka CFR adalah terbatasnya laboratorium yang dapat dijadikan sebagai rujukan pemeriksaan dengan metode real time PCR di seluruh wilayah Indonesia. Hingga saat ini, baru ada 48 laboratorium yang ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan untuk melakukan pemeriksaan metode real time PCR. Jika dibandingkan dengan luasnya negara Indonesia dengan 514 kabupaten, tentu ini sangat kurang. Dengan sedikitnya laboratorium pemeriksaan, maka secara otomatis memperlambat proses konfirmasi seseorang terinfeksi atau tidak; sehingga berakibat pada kecilnya denominator. Dalam hal ini, CFR menjadi cenderung over estimasi. Kita juga mengetahui, bahwa ada juga kejadian dimana PDP meninggal tetapi hasil pemeriksaan real time PCR belum diketahui. Jika kemudian diketahui bahwa hasil test real time PCR terkonfirmasi positif, maka perhitungan CFR pada waktu sebelumnya mengalami under estimasi karena belum dimasukkan sebagai numerator.

Kedua keadaan tersebut baik under estimasi maupun over estimasi memiliki dampaknya masing-masing. Over estimasi berpotensi menimbulkan ketakutan dan kepanikan di masyarakat, sedangkan under estimasi berpotensi mengakibatkan tidak seriusnya semua elemen masyarakat dalam mencegah dan menanggulangi penyebaran virus Covid19. Dengan demikian, dalam menyajikan, menginterpretasikan dan membandingkan CFR sangat diperlukan kehati-hatian dan pemahaman akan situasi atau konteks terutama pada masyarakat awam.

Akhirnya, memang pandemi ini mau tidak mau menuntut masyarakat untuk semakin belajar memahami ukuran yang digunakan dalam masalah kesehatan masyarakat.Namun, menampilan ukuran masalah kesehatan masyarakat tanpa penjelasan lanjut dapat menyebabkan bias informasi di tengah masyarakat yang kemudian berpotensi menciptakan interpretasi serta kesimpulan-kesimpulan liar yang merugikan. Oleh karena itu, informasi-informasi kesehatan khususnya ukuran masalah kesehatan masyarakat harus ditampilkan dengan penjelasan kekuatan dan kelemahan. Ini merupakan sebuah kesempatan untuk memberikan edukasi lebih banyak kepada masyarakat mengingat 50% penduduk Indonesia telah terhubung dengan internet dan hampir semua penduduk Indonesia dapat mengakses televisi. Dengan demikian, masa pandemi yang sulit ini tidak berlalu begitu saja, tetapi juga memberikan efek positif terhadap masyarakat Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun