(Tulisan ini sudah dimuat disalah satu media cetak di daerah, sengaja saya share di kompasiana untuk menperkaya wahana dan wacananya)
Fenomena paling sublim pada era demokrasi pasca reformasi di Indonesia ialah Pilkada. Pilkada merupakan pemilihan umum dalam rangka memilih kepala daerah baik pada tingkatan Provinsi maupun Kabupaten atau Kota. Mengutip Huntington (2001) dalam bukunya “Demokrasi Amerika dalam Hubungannya dengan Asia” bahwa tujuan utama pemilihan umum adalah sebagai implementasi perwujudan kedaulatan rakyat.
Menyimak perkembangan politik Sumatera Selatan, terselip kabar tidak mengenakan yang datang dari putra terbaik sekaligus tokoh pemuda di Sumatera Selatan yang beberapa hari kebelakangan ini baru saja terbelit masalah hukum karena terlibat dalam penyalahgunaan obat-obatan terlarang, narkoba. Ia adalah Bupati termuda di Indoensia, Ahmad Wazir Nofiadi Mawardi yang terpilih pada Pilkada serentak 9 Desember 2015 dan baru dilantik pada 17 Februari 2016 sebagai Bupati Ogan Ilir 2016-2021 menggantikan ayahnya Mawardi Yahya.
Mengutip Anderson (2001) bahwa “memang proses demokrasi tidak dapat diramalkan, Oleh sebab itu, teori demokrasi pun menjadi kompleks dalam menjajagi dan meramalkan proses tersebut”. Dari pernyataan “tidak dapat diramalkan” tersebut menarik bagi penulis untuk mengutipnya karena mengilhami kita tentang ada fenomena apa di balik Pilkada?, Fenomena yang dicatat antaranya “usia”, sejumlah orang yang masih menginjak usia muda dengan mudahnya mengapai puncak tertinggi jabatan politik. Tentu ini merupakan prestasi dan karir yang luar biasa bagi individu-individunya serta bahkan pecah rekor sejarah bagi demokrasi dan perpolitikan Indonesia.
bahwa prestasi sejarah politik pilkada 2015 banyak memproduksi kepala-kepala daerah dari angkatan muda, namun dengan peristiwa pengebrekan serta penagkapan bupati Ogan Ilir tersebut seketika mereduksi segala prestasi demokrasi yang belum genap berusia satu bulan.
BUDAYA POLITIK
Tulisan ini tidak dibuat tendensius terhadap insiden politik lokal atau atas mental pejabat politiknya, melainkan sebagai refleksi dari sistem demokrasi yang terus diupayakan perbaikannya. Perbaikannya dapat dilihat dari setiap kali musim pelaksanaan Pilkada saat itu juga sontak Undang-undangnya mengalami perubahan.
Pertanyaannya, setiap kali ajek Undang-undang diubah yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas Pilkada apakah berbanding lurus dengan produksi kepemimpinan yang dihasilkannya. Tentu sebagai masyarakat awam akan mudah menjawab sembari menyibir.
Tidak hanya persoalan kasus Narkoba saja yang menjadi dasar kenyataan ini dipertanyakan, Karena dari 541 Kepala Daerah, baik Provinsi maupun Kabupaten dan Kota, tercatat hingga tahun lalu setidaknya ada 360 kasus yang membelit kepala daerah dan rata-rata kasusnya adalah korupsi. Dan mereka itu merupakan produksi dari Pilkada.
Dalam pendekatan agama, jika korupsi (maling) dan Narkoba (khomer) telah menjadi kebiasaan atau menjadi budaya dalam politik, maka teman-teman lainnya juga akan turut melembaga, sebut saja perzinahan dan pembunuhan. Bercermin dari pendapat Peter Burke (2001) Budaya politik merupakan seperangkat pengetahuan, gagasan, dan sentimen politik yang terdapat pada suatu masyarakat, suatu wilayah, dan pada periode tertentu. Selain itu budaya politik memperlihatkan cara pewarisan pengetahuan, gagasan, dan “sentimen” dari suatu generasi ke generasi berikutnya dalam suatu masyarakat.