Pilkada di DKI selalu menjadi perhatian nasional, meskipun saat ini kita sedang melaksanakan pilkada serentak di seluruh kota, kabupaten, dan provinsi.
Tema debat perdana menarik dan esensial, yaitu sumber daya manusia dan transformasi Jakarta menjadi kota global. Sayangnya, saya merasa ada satu isu penting yang kurang disinggung, yaitu isu penyandang disabilitas.
Meskipun kata "disabilitas" disebutkan beberapa kali oleh para kandidat, tidak ada satu pun yang secara spesifik membahas kebijakan yang dibutuhkan untuk teman-teman penyandang disabilitas. Saya berbicara bukan hanya dari sisi teori, tapi juga dari pengalaman langsung di lapangan dan mendengarkan aspirasi teman-teman penyandang disabilitas.
Ini adalah peluang untuk lebih banyak menyinggung isu-isu dari kelompok minoritas, seperti penyandang disabilitas. Kita tahu bahwa popularitas menjadi faktor penting dalam politik elektoral, dan isu disabilitas seringkali tidak menjadi isu utama.
Mungkin data jumlah penyandang disabilitas di DKI Jakarta tidak lebih dari 2%, tetapi kita harus ingat bahwa mereka memiliki keluarga, anak-anak, orang tua, dan saudara. Kita yang mengalami disabilitas dan keluarganya mengerti betul apa yang dialami dan bagaimana susahnya.
Jika ada calon pemimpin yang bisa memahami kebutuhan penyandang disabilitas, itu akan menjadi keuntungan bagi mereka. Sayangnya, hal ini tidak terangkat dengan baik. Saya masih menangkap kesan bahwa para kandidat hanya mengatakan "kita peduli", "kita ingin kota yang inklusif", "kita ingin keadilan", dan lain-lain, tetapi tidak ada program atau kebijakan yang jelas.
Program yang ada masih berfokus pada aspek fisik, seperti pembangunan aksesibilitas. Padahal, untuk menjadi kota maju, apalagi kota global, sebuah kota harus mengakomodasi kebutuhan warga yang paling bawah, termasuk mereka yang rentan, seperti penyandang disabilitas dan lansia.
Bagaimana agar teman-teman penyandang disabilitas mendapatkan jaminan sosial? Bagaimana agar mereka tidak khawatir dengan hidup mereka? Kita sudah kehilangan banyak nikmat di dunia ini, seperti nikmat penglihatan atau kemampuan bergerak bebas. Namun, sebagai negara, kita harus hadir untuk mendukung mereka, mengurangi beban mereka, dan membuat mereka tetap produktif.
Contohnya, bagaimana soal zonasi sekolah? Orang tua masih khawatir ketika ingin menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah umum. Meskipun zonasi adalah kebijakan yang baik, perlu pendampingan dan dukungan dari negara untuk menjamin bahwa orang tua tidak khawatir.
Bagaimana agar anak-anak dengan disabilitas tidak menjadi korban bullying? Bagaimana agar guru bisa menjadi mediator antara anak-anak dengan dan tanpa disabilitas? Ini adalah kekhawatiran banyak orang tua. Jika isu ini terangkat, banyak orang tua akan bersyukur dan mendukung calon pemimpin tersebut.
Kita sering melihat teman-teman tunanetra yang terpaksa menjadi pemijat atau berjualan kerupuk karena tidak memiliki jaminan sosial. Mereka tidak memiliki jaminan bahwa mereka akan bisa makan besok. Padahal, kita punya program Kartu Penyandang Disabilitas Jakarta, tetapi implementasinya salah.