Pertengahan bulan Oktober kemarin, saya punya kesempatan lagi bermain ke lingkungan pedalaman Tau Taa Wana yang asri. Kali ini, Sabado, salah satu lipu (kampung tradisional) mereka, menjadi tujuan kunjungan kami. Lipu ini berada paling kurang 800 mdpl. Sejuk dan hijau, meski musim panas masih membakar bumi.
Seminggu lebih kami mendampingi mereka merumuskan rencana pemanfaatan tata ruang wilayah adat Sabado. Pemuka-pemuka adat dari lipu lain juga hadir. Apa Wis termasuk salah satu diantaranya. Ia adalah Tau Tua Lipu (pemimpin lipu) Ueveau, lipu yang beberapa kali pernah tayang di “Jelajah-nya” Trans TV dan “Lintas Katulistiwa-nya” TV One.
Saya banyak diskusi dengannya. Ia seorang yang kritis dan menyimpan banyak kegelisahan tentang nasib komunitasnya. Kerapkali air mukanya marah dan gemas ketika bercerita tentang stigma orang luar pada komunitasnya. Tapi mukanya jadi berseri-seri, begitu diskusi tentang kemandirian Tau Taa Wana.
Ia memang punya cita-cita untuk memandirikan lipunya. Ia ingin membangun komunitasnya dalam bingkai dan karakter budayanya. Dia yakin, untuk maju tidak perlu harus memuja modernitas. Baginya, pembangunan tidak mesti bermakna modernisasi.
Ia benar-benar membangun cita-citanya dengan hati. Ia memimpin komunitas lipunya membangun cita-cita itu dengan tauladan. Ia mendirikan Sekolah Lipu agar komunitasnya melek huruf. Ia bahkan, tanpa malu-malu, menjadi salah seorang peserta belajar kelas khusus Sekolah Lipu. Orang-orang tua pun akhirnya mengikutinya. Ia bahkan menjadikan sekolah lipu sebagai “pusat belajar tradisi”, bagi anak-anak mereka.
Apa Wis juga pendorong utama terbangunnya Kios Lipu, semacam lembaga ekonomi kolektif komunitasnya. Kebutuhan-kebutuhan pokok komunitas difasilitasi oleh lembaga ini. Produk-produk komunitas, khususnya hasil hutan non kayu, juga dijual kepada atau dipasarkan oleh lembaga ini.
“Meskipun pembelian kios lipu lebih murah dibanding tengkulak, kami akan tetap menjual ke kios lipu,” tegas Goding, salah seorang anggota kios lipu Ueveau.
Berkat Apa Wis, telah tertanam dalam benak komunitas, kios lipu bukanlah semata lembaga profit. Kios Lipu, seperti halnya Sekolah Lipu adalah simbol kolektivitas. Simbol eksistensi diri...! Baginya, Sekolah Lipu dan Kios Lipu adalah jalan menuju kemandirian yang dicita-citakan. Saya jadi belajar banyak tentang “Kepahlawanan” dari pengalamannya.
Mari menengok sejarah perjuangan para tokoh-tokoh yang kita kenal sebagai pahlwan bangsa. Mereka disebut pahlawan karena memiliki semangat kepeloporan yang tinggi, menyatu dengan jiwa kepemimpinan yang siap berkorban dan memberi teladan. Kepeloporan dalam hal ini, acapkali dimaknai sebagai sikap maju ke depan, merintis, membuka jalan, dan memulai sesuatu untuk diikuti, dipikirkan, dilanjutkan dan dikembangkan oleh orang lain. Karena itulah, kepeloporan cenderung memiliki unsur “resiko”. Kesanggupan untuk memikul risiko ini penting dalam setiap perjuangan.
Nah, dalam konteks perjuangan untuk memandirikan lipunya atau membangun komunitasnya, Apa Wis telah menunjukkan sikap kepahlawanan dan kepemimpinan itu. Secara pribadi, saya menyebutnya “univeritas hidup kepahlawanan”. Mengapa ? Karena darinyalah saya belajar banyak bahwa sikap kepahlawanan itu ternyata baru bisa tumbuh jika kita mampu membaca, melihat dan mendengar dengan hati. Kearifan inilah yang kian langka pada masyarakat modern. Dan kita masih banyak menemukannya pada komunitas adat semacam Tau Taa Wana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H