[caption id="" align="aligncenter" width="360" caption="The Wolf of Wall street (2013)"][/caption]
Martin Scorsese is back! Setelah lebih dari satu dekade melanglang buana dengan membuat film-film variatif dengan hasil yg standard; membuat film crowd pleasing ala Steven Spielberg (‘Hugo’, what the fuck was that?), mencoba membuat film noir dengan twist ending yg sok pintar/shocking (‘Shutter Island’) tetapi malah membuat penonton frustasi, atau mencoba membuat film biopic ambisius tentang seorang ikon Amerika, Howard Hughes (‘The Aviator’) dengan hasil yg lumayan tetapi tidak ada style greget Scorsese yg membuat dia legendaris.
Banyak yg sudah menilai (termasuk saya) bahwa karir Scorsese sudah menurun di ambang pensiun dan film-filmnya sudah menjadi terlalu sopan atau mencoba terlalu keras untuk jadi ‘pasaran’ di Hollywood. Sehingga saya dengan setengah hati menonton film-filmnya tetapi merasa sedih karena masa kejayaan Scorsese sudah lewat dan terus terang film-filmnya 10 tahun terakhir sangat biasa bagi seorang filmmaker sekaliber dia.
And then out of nowhere, he gave us the big ‘FUCK YOU’ with ‘The Wolf of Wall Street’.
Tidak ada sutradara yg bisa melewati keahlian Scorsese dalam mengungkit tema excess atau hidup yg terlalu berkelebihan seperti dia. Banyak sutradara yg mencoba dan bahkan mengikuti style dia, Paul Thomas Anderson mencoba dengan ‘Boogie Nights’ dan David O. Russell mencoba juga melalui ‘American Hustle’, tetapi Scorsese is still the master. Kalau Stanley Kubrick adalah seorang master dengan tema ‘controlled chaos’, Wong Kar-wai dengan tema melankolis, Martin Scorsese adalah ‘living in excess’.
Kita semua sudah familiar dengan cerita ‘The Wolf of Wall Street’, di mana kita mengikuti cerita seorang stockbroker bernama Jordan Belfort (Leonardo Dicaprio). Dari awal yg sederhana sampai menjadi salah satu orang paling sukses di Wall Street dengan menipu klien-kliennya. Film-film dengan tema kejahatan kerah putih bukan sesuatu hal yg baru tetapi versi Scorsese yg membuat beda dari ratusan film lainnya adalah dia berani menunjukan kehidupan gemilang seorang stockbroker penipu dengan segala keglamoran yg berkelebihan melalui drugs, sex orgies, uang, materi dan power. Ratusan film lain tentang kejahatan kerah putih kurang berhasil karena film-film mereka terlalu membosankan, serius, sok intelektual atau kurang berani dalam mengexpose dunia kriminal kerah putih.
Di era modern di mana kejahatan kerah putih lebih sangar karena bisa lebih instan menghancurkan kehidupan orang-orang normal di banding aksi kriminalitas lainnya (mafia, drug dealer) bukannya lebih masuk akal dengan mengexplorasi sisi gelap kerah putih dengan bertanya, what’s the reward?
Sudah menjadi fakta lama sejak dekade 80’an pemakai drugs dan penyewa prostitusi terbanyak adalah pekerja-pekerja di Wall Street. Sudah menjadi fakta lama penipu terberat adalah pekerja-pekerja Wall Street. Tetapi kenapa belum ada film yg berani menunjukan itu secara terang-terangan? Sejarah Scrosese dengan tema-tema excess sudah cukup familiar dengan film-film dia tentang mobser Itali melalui ‘Goodfellas’ atau ‘Casino’, di mana kehidupan materi berkelebihan, membunuh/merampok adalah sesuatu hal yg biasa di kalangan mobster.
Film-film Scorsese sangat unik karena dia mengundang penonton untuk menjadi bagian intim inner circle keluarga-keluarga mobster karena mereka bukan orang-orang biasa. Di dunia mereka, apa yg normal untuk mereka sangat tidak normal untuk orang-orang seperti kita. Cara mereka berpikir/melakukan sesuatu/tradisi/gaya hidup mereka sangat bertolak belakang dengan orang-orang normal. Scorsese mengaplikasi template ini ke ‘The Wolf of Wall Street’ dan kita benar-benar bisa merasakan mindset atau cara berpikir Belfort kenapa dia melakuan hal-hal ini tanpa pikir panjang konsekuensi tindakakan dia. Obsesi Belfort dengan materi, drugs dan sex mungkin sudah transparan tetapi Scorsese tidak hanya fokus ke hal itu. Scorsese melihat Belfort sebagai seorang individu yg percaya dengan the American dream, jika kamu kerja keras, membuat inovasi dan mencetak jalan kamu sendiri, semua impian kamu akan terwujudkan. Pertanyaannya adalah sampai berapa jauh kamu ingin berkorban untuk hal itu?
Film ini mengundang banyak kontroversi karena banyaknya adegan drugs dan sex dan fokus ke hal-hal materi/kekayaan sepertinya membuat gaya hidup Belfort glamor. Emm, memang itu poinnya bukan? Kita melihat dunia dari sudut pandang Belfort, kita di undang untuk sesaat untuk nongkrong di dunia dia dan dunia dia memang dahsyat dan sangat menggoda. Untuk mengerti sikap mereka kita musti melihat kehidupan mereka dan memang dunia mereka sangat menarik karena mereka tidak mengikuti aturan, mereka ambil yg mereka mau, mereka melakukan hal yg mereka mau. Film ini bukan pelajaran moral atau ceramah tentang kebenaran atau tentang korban-korban Belfort yg tertipu sehingga uang tabungan mereka ludes. Film ini tentang perjalanan seorang bernama Jordan Belfort di mana dia memilih pilihan radikal ‘do or die’ untuk mencapai mimpinya. Simpelnya, film ini tentang pengalaman manusia dari sisi yg ekstrim. Suka atau tidak, itu pilihan anda.
Seperti film-film Scorsese klasik yg lain seperti ‘Taxi Driver’, ‘Raging Bull’ dan ‘Goodfellas’, Scorsese tidak interest dengan explorasi karakter yg sok suci/good guys. Dia lebih tertarik untuk mengekplorasi karakter-karakter yg di ambang abu-abu karena mereka lebih menarik, lebih kompleks, lebih mengejutkan, lebih rapuh dan yg paling penting lebih manusiawi. Di salah satu scene yg cukup menyentuh di mana Belfort sedang berpidato berapi-api ke ratusan karyawannya, dia membuat revelasi yg sangat personal. ketika perusahaan Belfort baru mulai dan dia baru punya 20 karyawan, seorang perempuan yg sedang stress dan tak di kenal tiba-tiba datang menemui Belfort dan meminta pekerjaan. Perempuan itu seorang Ibu tunggal, yg tidak mempunyai pengalaman sebagai stockbroker. Putus asa dan tidak punya uang, dia dengan berani meminta pekerjaan dan meminjam $5,000 sebagai uang muka supaya dia tidak di usir dari tempat sewaanya dan untuk makan. Belfort memberi dia $25,000, alasannya?
”I Believed in her. Like I believe in all of you.”
Welcome home Scorsese.
tintascreenplay.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H