Mohon tunggu...
Joe Gievano
Joe Gievano Mohon Tunggu... -

sutradara dan penulis. tintascreenplay.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Film Indonesia terbaik yg belum pernah anda lihat

19 Agustus 2013   10:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:08 1550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="(2012)"][/caption]

Sebuah karya film yg benar-benar bisa menyentuh perasaan kita terdalam musti jujur dengan cerita yg ingin di sampaikan. Film itu musti berani mengungkapkan subyek yg ingin di ceritakan dengan bukan setengah hati tetapi musti mempunyai mental radikal all or nothing. Mungkin ini kenapa saya kurang suka dengan film narasi Indonesia karena saya belum pernah merasakan sebuah kejujuran atau kebenaran yg menyentuh. Hampir semua film Indonesia yg saya pernah tonton tidak ada sangkut pangkutnya dengan realita dunia, akting yg berlebihan, drama yg sok dramatis, visi yg dangkal atau klise (nasionalisme+ agamis+hororis+ romantisme abg) dialog atau cara berbicara seperti di planet lain, tema yg beda tipis dengan sinetron dan karakter-karakter yg tidak pernah saya ketemui di dunia nyata. Saya belum pernah merasa saya belajar sesuatu yg baru dari film drama kita, karena hampir semua ceritanya adalah jiplakan dari ratusan film yg sama parah kualitasnya karena itu menjual, karena itu permintaan ‘pasar’, karena yg punya duit mau duitnya balik jadi mendingan bikin cerita yg aman aja. Saya selalu merasa bahwa pembuat film kita ketika membuat film selalu berkedip ke penonton dan menyindir  ,”Ini film loh!” sehingga akan akan ada selalu jarak antara penonton dan film, bukan intimasi di mana penonton tidak sadar bahwa mereka menonton sebuah film. Dimana mayoritas film narasi kita gagal total untuk membuat karya berarti yg benar-benar berbicara tentang keadaan rakyat kita dengan elegan, intelejen, humanis dan tidak menggurui. Film dokumenter justru yg berani untuk membuat sebuah visi yg tidak mau kompromi, original dan jujur seperti  ‘The Act of Killing’. Film ini adalah salah satu film terbaik yg saya pernah lihat mungkin karena film ini tentang kita. Tentang sisi kegelapan sejarah kita yg tidak pernah di ungkit secara terang-terangan karena tabu atau karena kita ketakutan atas konsekuensinya jika kita terlalu banyak bertanya. ‘The Act of Killing’ bercerita tentang Anwar Congo seorang preman bioskop dari Medan yg di promosi menjadi anggota ‘death squad’ di mana dia membunuh 1000 orang yg di duga simpatisan komunis/anggota PKI di tahun 1965-66. Anwar dan teman-temannya merasa bangga karena membantai orang-orang komunis. Sutradara Joshua Oppenheimer mengundang Anwar dan teman-temannya untuk merekayasa pembantaian itu dengan gaya film-film yg mereka suka seperti film gangster, koboi dan musical. Hasilnya seperti kita memasuki ke pikiran seseorang yg terdalam dan kita menjadi penonton sebuah pentasan drama yg penuh dengan imej-imej surreal, mimpi buruk dan kebiadaban manusia yg paling rendah. Joshua sendiri menyebutkan bahwa film ini “a documentary of the imagination”. Pertama kali kita ketemu Anwar, dia seperti orang tua yg rendah hati yg hangat seperti anggota keluarga kita. Dia dengan tenang memberikan deskripsi di sebuah atap bangunan bahwa dia banyak sekali membunuh orang  di sini dan metode favoritnya adalah menggunakan kawat untuk mencekik (yg dia lihat dari sebuah film gangster) karena lebih keluar darah lebih sedikit di banding memukul/menggorok. Sehabis itu dia berdansa cha-cha. Perlahan-lahan  Anwar bercerita bahwa dia sering mengalami mimpi buruk di mana korban-korban yg dia bunuh sering mendatangi dia sementara teman-teman anwar yg lain tidak pernah merasakan beban itu karena mereka merasa tindakan mereka benar dan di dukung oleh pemerintah.

Walaupun fokus ‘The Act of Killing’ lebih kepada pemikiran internal para pembunuh tetapi garis besar aksi mereka selalu di dukung oleh instansi pemerintah dan media sehingga menciptakan kultur di mana pembantaian jutaan ‘komunis’ di anggap hal yg mulia. Gubernur Sumatera utara ketika di wawancara dengan santai mengganggap preman-preman seperti Anwar di butuhkan dan di perlukan karena preman adalah ‘free man’. Statemen ini juga di dukung oleh beberapa politisi dan pejabat elit lainnya dan di sini ‘The act of killing’ membuat revelasi yg menyedihkan, semua orang mengganggap Anwar sebagai pahlawan dan semua orang sudah move on dan tidak memikirkan masa lalu tetapi anwar masih stuck dengan darah di tangannya dan semakin intens pengalaman dia merekeyasa pembantaian di mana dia bermain sebagai pelaku dan korban, semakin rapuh kepercayaan Anwar kalau dia berbuat sesuatu yg benar. Sudah tidak terhitung berapa film yg penuh dengan kekerasan yg saya sudah tonton tetapi ‘The Act of Killing’ bisa di bilang film yg paling disturbing tentang kekerasan (walaupun Anwar dkk berekayasa layaknya seperti pemain teater amatiran dan tidak ada adegan kekerasan grafis) karena ketika berekayasa kita melihat di mata mereka bahwa mereka adalah pembunuh beneran bukan karakter fiksi. Suara Anwar lebih pelan dan dia tidak banyak bicara tetapi saya merasakan pandangan dia pelan-pelan berubah menjadi pembantai benar-benar sangat mengerikan dan di satu scene di mana anak seorang korban (bapaknya di culik, di bunuh sewaktu umur dia 10 tahun dan dia menemukan kuburan bapaknya di pinggir jalan) memerankan peran di mana dia di interogasi oleh Anwar dkk. Saya tidak merasa mereka berakting. Saya sedang menyaksikan bagaimana aksi penyiksaan/pembantaian sedang terjadi di tahun 1965-66. Si anak sang korban benar-benar merasa ketakutan dan akhirnya dia benar-benar menangis dan memohon untuk tidak di bunuh bukan saja menjadi adegan yg sangat disturbing tetapi menjadi simbol bahwa suara korban-korban keluarga yg selama ini tidak pernah kita dengar akhirnya mengeluarkan jeritan yg sudah terpendam berpuluh-puluh tahun, bahwa bapak/anak/adik/kakak/abang/nenek/kakek/paman/tante/ibu mereka telah mati secara menggenaskan dan kebanyakan mayat mereka tidak di temukan. Jika saya tidak akan pernah menonton film yg jujur atau film yg mencari kebenaran tentang siapa kita sebagai orang Indonesia lagi, itu tidak apa. Karena ‘The Act of Killing’ sudah pernah menjawab itu. tintascreenplay.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun