[caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="(2012)"][/caption]
Sebuah karya film yg benar-benar bisa menyentuh perasaan kita terdalam musti jujur dengan cerita yg ingin di sampaikan. Film itu musti berani mengungkapkan subyek yg ingin di ceritakan dengan bukan setengah hati tetapi musti mempunyai mental radikal all or nothing. Mungkin ini kenapa saya kurang suka dengan film narasi Indonesia karena saya belum pernah merasakan sebuah kejujuran atau kebenaran yg menyentuh. Hampir semua film Indonesia yg saya pernah tonton tidak ada sangkut pangkutnya dengan realita dunia, akting yg berlebihan, drama yg sok dramatis, visi yg dangkal atau klise (nasionalisme+ agamis+hororis+ romantisme abg) dialog atau cara berbicara seperti di planet lain, tema yg beda tipis dengan sinetron dan karakter-karakter yg tidak pernah saya ketemui di dunia nyata. Saya belum pernah merasa saya belajar sesuatu yg baru dari film drama kita, karena hampir semua ceritanya adalah jiplakan dari ratusan film yg sama parah kualitasnya karena itu menjual, karena itu permintaan ‘pasar’, karena yg punya duit mau duitnya balik jadi mendingan bikin cerita yg aman aja. Saya selalu merasa bahwa pembuat film kita ketika membuat film selalu berkedip ke penonton dan menyindir ,”Ini film loh!” sehingga akan akan ada selalu jarak antara penonton dan film, bukan intimasi di mana penonton tidak sadar bahwa mereka menonton sebuah film. Dimana mayoritas film narasi kita gagal total untuk membuat karya berarti yg benar-benar berbicara tentang keadaan rakyat kita dengan elegan, intelejen, humanis dan tidak menggurui. Film dokumenter justru yg berani untuk membuat sebuah visi yg tidak mau kompromi, original dan jujur seperti ‘The Act of Killing’. Film ini adalah salah satu film terbaik yg saya pernah lihat mungkin karena film ini tentang kita. Tentang sisi kegelapan sejarah kita yg tidak pernah di ungkit secara terang-terangan karena tabu atau karena kita ketakutan atas konsekuensinya jika kita terlalu banyak bertanya. ‘The Act of Killing’ bercerita tentang Anwar Congo seorang preman bioskop dari Medan yg di promosi menjadi anggota ‘death squad’ di mana dia membunuh 1000 orang yg di duga simpatisan komunis/anggota PKI di tahun 1965-66. Anwar dan teman-temannya merasa bangga karena membantai orang-orang komunis. Sutradara Joshua Oppenheimer mengundang Anwar dan teman-temannya untuk merekayasa pembantaian itu dengan gaya film-film yg mereka suka seperti film gangster, koboi dan musical. Hasilnya seperti kita memasuki ke pikiran seseorang yg terdalam dan kita menjadi penonton sebuah pentasan drama yg penuh dengan imej-imej surreal, mimpi buruk dan kebiadaban manusia yg paling rendah. Joshua sendiri menyebutkan bahwa film ini “a documentary of the imagination”. Pertama kali kita ketemu Anwar, dia seperti orang tua yg rendah hati yg hangat seperti anggota keluarga kita. Dia dengan tenang memberikan deskripsi di sebuah atap bangunan bahwa dia banyak sekali membunuh orang di sini dan metode favoritnya adalah menggunakan kawat untuk mencekik (yg dia lihat dari sebuah film gangster) karena lebih keluar darah lebih sedikit di banding memukul/menggorok. Sehabis itu dia berdansa cha-cha. Perlahan-lahan Anwar bercerita bahwa dia sering mengalami mimpi buruk di mana korban-korban yg dia bunuh sering mendatangi dia sementara teman-teman anwar yg lain tidak pernah merasakan beban itu karena mereka merasa tindakan mereka benar dan di dukung oleh pemerintah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H