Pertama kali saya mendengar film klasik Coen Brothers ‘Fargo’ akan di jadikan serial TV, reaksi pertama saya cukup pesimis dan menggerutu. Kenapa musti ‘Fargo’? Hollywood Kehabisan ide lagi? Saya tidak mempunyai ekspektasi, malah menunggu worst case scenario di mana serial itu akan jadi bahan olokan dan di bantai kritik.Tetapi sesuatu yg tidak terduga terjadi, serial TV ‘Fargo’ malah mempunyai identitas sendiri yg kuat dan menjadi pujaan kritikus sebagai salah satu serial TV terbaik di 2014. Ketika saya menonton, saya terpukau dan mengerti, ‘Fargo’ memang di takdirkan untuk menjadi serial TV yg brilian.
Di era keemasan serial TV di mana cerita yg original dan karakter yg kompleks kebanyakan hijrah ke TV dan bukan ke sinema lagi, ‘Fargo’ berada di momen yg tepat. Film-film Coen Brothers yg dari dulu tidak pernah mau tunduk dengan mainstream sinema dan cerita-cerita yg lagi trendy selalu membuat karya-karya mereka seperti orang terasing, tetapi justru di jaman sekarang mendapatakan tempat yg cocok di cable TV.
Perbedaan Fargo the movie dan Fargo TV series tidak terlalu menonjol bahkan Fargo TV series seperti menjadi sebuah ekstensi dari dunia Fargo the movie (walaupun cerita dan karakternya tidak ada hubungan antara film dan TV). Semua trademark Coen Brothers yg khas terasa di serial ini; dark humor, karaker-karakter yg unik, tonasi cerita yg kelam dan twist-twist yg mengejutkan serta tema tentang sifat manusia yg penuh kontradiksi di perdalam di serial Fargo.
Basis cerita’ Fargo’ cukup simpel dan familiar di awal cerita, seorang loser bernama Lester Nygaard (Martin Freeman) terjebak dengan kehidupan monoton, pernikahan yg buntu dan tidak pernah sukses. Istrinya secara pasif/agresif selalu mengecilkan Lester, dia sering membandingkan kehidupan Lester yg pas-pasan dengan adik Lester yg sukses. Ketika Lester bertemu dengan seseorang dari masa lalunya, seorang bully yg sering menyiksa Lester sewaktu jaman sekolah. Pertemuan mereka membuat Lester masuk rumah sakit (dengan cara twist Coen yg klasik dan tidak terduga).
Ketika Lester menunggu di emergency room dengan hidung yg patah, dia bertemu dengan Lorne Malvo (Billy Bob Thornton). Seorang pembunuh bayaran dari luar kota yg kebetulan sedang melakukan sebuah ‘job’ dan kebetulan ingin membantu Lester. Malvo dengan tenang menawarkan jasanya untuk membereskan si bully. Dalam dilema sesaat, Lester membuat keputusan yg merubah hidupnya sejak saat itu.
Sepertinya ‘Fargo’ mempunyai sedikit kesamaan dengan ‘Breaking Bad’ di mana seorang guru kemistri yg culun merubah nasibnya dengan menjadi pembuat drugs. Lester sendiri melewati garis ‘moralitas’ ketika dia membunuh istrinya dan dengan tidak sengaja membantu Malvo membunuh seorang polisi di waktu yg bersamaan. Ironisnya Kehidupan Lester justru semakin baik ketika dia melakukan hal-hal yg illegal, dia mendapatkan promosi, istri kedua yg lebih suportif, dia semakin percaya diri,dsb.
Kalau nuansa ‘Breaking Bad’ lebih dekat dengan bagaimana seorang individu bisa merubah nasibnya karena kerja keras dengan menggunakan talenta briliannya melalui ilmu modern (kemistri, logika, pengetahuan) dan kepercayaan diri. ‘Fargo’ mempunyai nuansa ‘cerita rakyat’ modern. Di mana sepertinya ada sebuah kekuatan yg tidak terlihat menentukan nasib Lester untuk bertemu dengan Malvo; di mana kekuatan murni yg jahat seperti Malvo datang ke kota kecil di mana Lester tinggal dan memporak-porandakan kehidupan karakter-karakter di situ seperti takdir untuk membuat sebuah kisah/cerita peringatan.
Tetapi ‘Fargo’ tidak mempunyai unsur supernatural yg blak-blakan karena itu bukan gaya Coen Brothers. Di dunia Coen Brothers, kehidupan karakter-karakter mereka yg sepertinya bertemu secara acak/kacau mempunyai sebuah makna yg dalam, there is a pattern in the middle of chaos. Kejadian yg acak mempunyai sebuah makna yg tertentu. Dan ini yg membuat ‘Fargo’ mempunyai tema yg lebih luas. Kenapa orang jahat selalu menang? Kenapa sukses musti berarti orang bersikap brutal? Kapan kekuatan baik mengimbangi kekuatan jahat? Apa yg orang baik musti lakukan ketika kegelapan datang dan menyelimuti mereka?
Mungkin ini sedikit membingungkan kenapa saya membandingkan ‘Fargo’ dengan ‘Breaking Bad’ tetapi bagi saya penting karena perbandingan ini yg membuat awal cerita mereka berangkat dari tempat yg sama tetapi sampai di tujuan yg berbeda. Kita sebagai penonton sudah terbiasa dengan konsep “anti-hero” di mana si hero melakukan hal yg tidak mulia untuk kepentingan yg lebih besar. Walter White di ‘Breaking Bad’ menjadi pembuat drugs/kriminal karena dia terkena kanker dan ingin mengumpulkan uang untuk keluarganya sebelum dia mati. Kita mengerti dengan motivasi dia karena jika keadaan mendesak, kebanyakan dari kita juga melakukan hal yg sama.
Di ‘Fargo’ awalnya kita bersimpati dengan Lester, karena dia seorang loser yg selalu tidak beruntung selama hidupnya. Kita menjagoi Lester ketika dia di bully sama teman sekolahnya, kita senang melihat si bully di bantai Malvo, kita bahkan masih mengerti motivasi Lester ketika dia membunuh istrinya karena dia sudah bertahun-tahun di tindas. Tetapi Ketika Lester semakin terlibat dengan Malvo dan setiap masalah di selesaikan dengan licik oleh Lester demi kepentingan dia pribadi, kesimpatian kita terhadap Lester semakin berkurang dan esensi Lester yg paling dasar ternyata adalah seorang pengecut yg membuat kita mual.
Semakin Lester sukses karena kelicikannya semakin kita membenci Lester dan ini membuat ‘Fargo’ brilian. Kita benci Lester tetapi kita tidak bisa tidak melihat Lester karena kita ingin tahu seberapa jauh Lester bisa bertahan hidup? Apalagi ketika dia merasa tidak perlu Malvo lagi dan dengan belagu menantangnya.