Mohon tunggu...
Joe Gievano
Joe Gievano Mohon Tunggu... -

sutradara dan penulis. tintascreenplay.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Big Bad Wolves: Pembenaran Penyiksaan?

24 Maret 2014   06:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:34 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="Big Bad Wolves (2013)"][/caption]

Di tahun 2013 Busan Film Festival, Quentin Tarantino dengan berani mendeklarasikan film Israel ‘Big Bad Wolves’ sebagai film terbaik di 2013. Mungkin karena ‘Big Bad Wolves’ dengan bangga menjiplak gaya film Tarantino yg penuh dengan blood, violence dan black comedy sehingga Tarantino mungkin terasa tersanjung dengan film ini. Apapun maksudnya, ‘Big Bad Wolves’ sukses mendeliver semua ekspektasi itu.

Seperti jenis-jenis genre film Tarantino, you either hate ‘em or love ‘em. Tidak bisa setengah-setengah. Jadi jika anda suka film-film yg sedikit sakit dengan adegan torture porn yg agak lama dan di bumbui dengan black comedy, film ini cocok untuk anda, tapi jika anda kurang suka sama film-film sejenis ini, yah anda pasti akan mual dan membenci film ini. Se-simpel itu.

‘Big Bad Wolves’ mempunyai premis yg mirip dengan film ‘Prisoners’ di mana seorang tersangka pedofil di culik dan di siksa oleh keluarga korban. Tetapi kalau ‘Prisoners’ di mainkan dengan gaya drama yg lurus dan serius, ‘Big Bad Wolves’ lebih ke arah black comedy yg bisa memancing tawa di saat-saat yg genting atau saat-saat yg absurd.

Cerita ‘Big Bad Wolves’ di mulai ketika seorang guru agama culun bernama Dror (Rotem Keinan) di pukuli/interogasi oleh seorang polisi bernama Miki (Lior Ashkenazi). Miki percaya bahwa Dror adalah pelaku serial pedofil yg menculik/memperkosa/membunuh beberapa anak kecil, tetapi dia tidak bisa membuktikannya. Aksi interogasi kejam Miki di rekam dan di sebarkan di internet sehingga Miki turun jabatan dan Dror di pecat dari kerjaannya.

Tidak peduli, Miki terus mengintai/obsesi dengan Dror, walaupun Dror hidup secara normal. Keadaan bertambah kompleks ketika salah satu ayah dari korban Gidi (Tzahi Grad) juga mulai mengintai Dror. Ketika Miki mengejar Dror sampai pinggiran hutan dan menodong dia untuk mendapatkan pengakuan, Gidi muncul, melumpuhkan Miki dan Dror. Dia menculik Miki dan Dror ke kabin terpencil dimana dia berencana untuk melakukan aksi yg lebih ekstrim.

Mulai dari segmen ini, kelihatan sekali influence Pulp Fiction Tarantino di karya sutradara Aharon Keshales dan Navot Papushado semakin kental. Adegan penyiksaan dengan tempo yg lambat di iringi oleh dialog yg banyak dan detail tentang misi Gidi. Juga banteran humor yg tidak di sengaja antara Gidi dan Miki ketika Gidi mengajak Miki untuk menyiksa Dror membuat antisipasi penonton dengan adegan penyiksaan semakin gelisah, iba di campur tawa dengan nasib Dror.

Ketika level setiap adegan penyiksaan yg grafis (kuku kaki di cabut, setiap jari di patahin dengan palu) semakin sadis tetapi Dror masih tidak mau mengaku. Ini membuat Miki ragu apakah Dror benar-benar bersalah dan Gidi sepertinya tidak peduli karena dia hanya ingin melampiaskan kemarahannya ke seseorang. Sehingga membuat hubungan segitiga unik di antara mereka bertiga karena persekutuan di antara mereka selalu berubah-rubah dan tidak bisa di tebak sampai akhir cerita.

Tetapi bagian yg paling menarik bagi saya lebih kepada kultur orang-orang Israel di mana kekerasan/konflik sudah menjadi bagian dari hidup mereka turun menurun karena situasi negara mereka yg penuh dengan konflik di timur tengah dan apakah kekerasan ekstrim adalah solusi pertahanan yg ampuh untuk melawan terror/masalah yg tidak bisa di pecahkan secara hukum?

Poin ini di simbolkan  oleh munculnya ayah Gidi secara tiba-tiba dengan membawa titipan sup dari ibu Gidi karena khawatir Gidi sakit dan tidak ada yg merawat dia. Gidi khawatir jika ayahnya akan menemukan Dror di ruangan siksa di bawah tanah, dia akan melapor ke polisi tetapi ayah Gidi malah mendukung aksi menyiksa Dror bahkan memberikan tips kepada Gidi cara menyiksa yg lebih efisien dengan menggunakan obor las (yg dia dapati dari wajib militer). Sehingga membuat adegan yg lucu/disturbing tentang family bonding melalui penyiksaan.

Mungkin kalau film ini ber-setting di Amerika hasilnya tidak terlalu menonjol karena tidak mempunyai sisi pandang budaya yg unik seperti dari Israel tetapi dasar cerita ini mempunyai tema yg sangat universal di mana menggunakan kekerasan yg ekstrim demi menyelamatkan anak kita akan selalu menjadi area yg abu-abu dan kompleks.

tintascreenplay.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun