Banyak orang berpendapat menonton film adalah sebuah hiburan semata, tidak lebih-tidak kurang. Banyak orang berpendapat menonton film musti punya banyak action/special fx/super hero, karena mereka tidak mau melihat realita di film. Ada juga yg berpendapat film musti realistis dan penuh dengan pesan-pesan ‘mendidik’ dan menggurui sehingga menghantam penonton bertubi-tubi dengan pesan-pesan moral yg mendekati propaganda. Ada juga yg berpendapat film bisa menjadi sebuah alat untuk membuat cerita yg sangat inspiratif, berbobot dan menjadi refleksi kehidupan yg nyata tanpa musti jatuh ke jurang ‘menggurui’ atau terlalu di buat-buat. ‘The Bicycle Thief’ adalah film yg termasuk di kategori terakhir.
‘The Bicycle Thief’ di sebut sebagai salah satu film penting/terbaik dari gerakan Italian neorealism atau gerakan film yg mencoba untuk membuat cerita se-realistis mungkin (fokus ke kaum buruh/kelas bawah) setelah pasca perang dunia II. Itali pasca perang dunia II (dan kebanyakan negara di eropa) mengalami fase kehancuran di semua bidang. Politik yg tidak stabil, ekonomi yg nyaris lumpuh, kelaparan di mana-mana dan minimnya lapangan kerja sehingga membuat rakyatnya putus asa.
Cerita ‘The Bicycle Thief’ awalnya kelihatan sangat simpel (seorang bapak mencari sepedanya yg hilang) dan tidak menarik. Tetapi film ini sanggup menggugah hati penonton sampai frame terakhir karena perjuangan si bapak untuk menghidupi keluarganya tergantung kepada sepedanya yg hilang/tercuri. Dan juga visi sutradara Vittorio De Sica yg dengan lihai dan sensitif memperlihatkan situasi/keputusasaan rakyat Itali di masa itu (khususnya kaum kelas bawah) bukan dengan cerita yg sok semangat untuk ‘menginspirasikan’ bangsa tetapi inspiratif karena memperlihatkan kondisi manusia yg kompleks dan sebenarnya di saat-saat genting.
Ricci (Lamberto Maggiorani) seorang pengangguran yg selalu mengantri untuk mencari pekerjaan kasar setiap hari mendapat kesempatan untuk bekerja, syaratnya dia musti mempuyai sepeda. Ricci dengan semangat menyatakan dia punya sepeda dan mendapatkan kerjaan. Sebenarnya sepeda Ricci di gadaikan untuk sementara, Ricci dengan gembira memberikan kabar baik ke istrinya, Maria (Lianella Carell). Untuk menebus sepeda, Maria musti menggadaikan sprei tempat tidur (harta mereka terakhir). Ricci mulai bekerja sebagai pemasang poster film di berbagai tempat di Roma, tetapi di suatu saat sepedanya di curi. Ricci membawa anaknya yg masih kecil, Bruno (Enzo Staiola) untuk membantu mencari pencuri/sepeda mereka di kota Roma yg liar.
Visi De Sica yg ingin membuat dunia se-otentik mungkin sehingga dia menggunakan orang-orang awam yg tidak mempunyai pengalaman berakting sebagai aktor dan shooting di lokasi yg nyata tanpa menggunakan studio/rekonstruksi set. Yg juga ironis, pekerjaan Ricci memasang poster film-film Hollywood yg glamor sangat berbeda dengan visi neorealism yg suram. Sehingga ketika kita mengikuti perjalanan Ricci dan Bruno bertemu dengan bermacam lapisan masyarakat (polisi yg tidak simpatik, pemukim di rumah bordil, orang-orang sedang berdoa di gereja, orang-orang berkonsulatsi dengan ‘orang pintar’), mereka seperti sepasang ‘tour guide’ di mana melalui mereka kita benar-benar memahami psikis masyarakat buruh Itali ketika sedang mengalami musim yg berat.
Dimana karena ganasnya kehidupan, mereka musti berlomba-l0mba/nyikut menyikut satu sama lain untuk berjuang hidup atau berbondong-bondong menemui orang pintar (di scene yg sangat familiar untuk orang kita) untuk mendapatkan harapan palsu atau menyerah pasrah dengan ekspresi yg letih di gereja.
Yg membuat film ini menjadi sebuah karya klasik adalah tema di film ini sangat tersembunyi dan ketika penonton mengerti maksud sebenarnya membuat film ini jauh lebih powerful. Di satu sisi, film ini secara blak-blakan memberikan gambaran yg jelas tentang perbedaan kelas di mana kaum buruh Itali pasca perang dunia II mengalami masalah ekonomi yg sangat sulit. Di suatu scene yg tidak terduga, Ricci sudah muak dengan mencari sepeda tiba-tiba membawa Bruno ke restoran untuk menikmati makanan yg nikmat dengan uang mereka yg terakhir. Bruno memandang ke meja sebelah di mana sebuah keluarga yg berkecukupan menikmati makan malam mereka seperti sesuatu hal yg biasa, sementara bagi Bruno dan Ricci ini mungkin terakhir kali mereka makan.
Di sisi yg lebih tersembunyi lagi, film ini mempunyai statement yg kuat tentang kemiskinan; manusia bisa kehilangan sisi kemanusiaannya dan ini lebih berbahaya. Tema ini di simbolkan oleh Ricci di mana semakin frustasi dia mencari sepedanya, semakin galak perlakuan dia kepada Bruno. Fokus Ricci untuk mencari sepeda (materi) membuat dia mengabaikan hal yg jauh lebih penting yaitu anaknya. Sementara Bruno seperti malaikat mungil yg selalu membantu Ricci atau sebagai suara hati nurani Ricci yg masih baik.
Tentunya De Sica menyembunyikan hal ini dengan pintar karena dia menolak untuk membuat hubungan bapak dan anak menjadi sesuatu hal yg melodramatis atau terlalu di buat-buat, malah De Sica membuat hubungan mereka menjadi sebuah simbol perjuangan hidup yg sangat nyata dan bukan versi Hollywood di mana mayoritas cerita kebanyakan di baluti oleh tonasi yg terlalu sentimental atau terlalu manis. Di versi neorealism, semua aksi dan konsekuensi di dunia ‘The Bicycle Thief’ selalu menghasilkan hasil datar yg memilukan tetapi nyata dan sangat manusiawi. Tidak lebih, tidak kurang.
tintascreenplay.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H