Mohon tunggu...
indra
indra Mohon Tunggu... Wiraswasta - karyawan malas yang ingin merdeka dan punya usaha sendiri

benar menurut saya, benar menurut anda, dan kebenaran sejati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bijak Menggunakan Warisan

21 Februari 2021   16:44 Diperbarui: 21 Februari 2021   17:08 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa waktu yang lalu, setalah kakek saya meninggal, anak anaknya yang berjumlah 11 orang berunding, mereka merundingkan bagaimana nasib beberapa hektar sawah yang dimiliki almarhum, sudah sewajarnya setelah orang tua tiada, (nenek sudah meninggal 5 tahun sebelumnya), maka warisan orangtua dibagi bagi, sudah barang tentu, karena anaknya berjumlah cukup banyak, maka bagian yang didapatkan per kepala tentu saja sedikit, dan yang saya perhatikan meskipun di dalam hukum waris islam laki laki mendapat warisan yang banyak, istilah "jawa" nya laki laki sepikul, wanita se gendongan, tapi di keluarga saya dan kebanyakan orang di kampung tidak memakai hukum waris islam, mengapa? padahal kan orang islam.

Mereka berkata, kita ini hidup di 'negara kepolisian' eh maksudnya negara kesatuan republik indonesia, indonesia berideologi pancasila, jadi mengacu pada sila ke 2 yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab, maka sawah peninggalan almarhum harus dibagi rata kepada 11 anaknya, biar adil dan tidak ada kecemburuan sosial diantara anggota keluarga yang lain. sesuai tradisi maka anak "ragil" alias bontot mendapat bagian rumah orangtua  dikurangi bagian sawah atau tidak dapat sawah sama sekali tergantung hitung hitungan perkiraan berapa harga rumah di wilayah rumah itu berdiri.

Urusan bagi membagi selesai sesudah itu tinggal urusan jual menjual, mengapa begitu?  berdasarkan hasil survey pribadi, 8 dari 10 anak yang mendapat warisan orangtua akan menjual harta warisnya, istilah "tidak susah payah beli maka gampang jual" adalah istilah tepat untuk menggambarkan fenomena ini.  

Beberapa bulan setelah warisan turun, tau tau di AJB sudah berganti majikan tu tanah, ada yang di jual buat renovasi rumah, beli motor baru atau mobil, istri baru mungkin eh, bisa saja kan. tapi yang jelas mereka menjual tanah "sesuatu yang tambah tahun naik harganya"
ditukar dengan motor atau mobil baru "sesuatu yang tambah tahun turun harganya" tentu saja rugi 'lik' 'pak de'.

Zaman sekarang beli tanah susahnya setengah mati, mau bikin rumah aja dibela belain kredit KPR,  kalau terus menerus dilakukan maka yang paling rugi adalah generasi ketiga (cucu) karena warisan habis dijual tinggal punya rumah saja.  tambah tahun lahan makin sempit, penduduk makin bertambah, usaha susah lapangan kerja sempit, cobalah untuk bijak dalam menggunakan harta warisan. 

Beruntung orang kampung masih punya lahan peninggalan orangtua, kalau warga biasa di kota metropolitan seperti jakarta kerja 200 tahun belum tentu terbeli sebidang tanah yang harganya selangit. sebidang tanah peninggalan akan lebih berkah lagi jika bisa turun sampe anak cucu, minimal anak cucu mau bikin rumah lahan tidak beli. itulah yang bapaku katakan dan coba aku terapkan di kehidupan.
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun