Perkembangan budaya musik pop Korea Selatan yang semakin marak diseluruh dunia membawa penafsiran baru terhadap konsep maskulinitas. Maskulinitas yang dulunya hanya dikaitkan dengan penampilan "jantan" yang diwakili oleh tubuh laki-laki serta jenis kelaminnya kini berkembang menjadi representasi yang mencangkup aspek simbolik. Budaya populer Korea Selatan adalah salah satu hal yang diperdebatkan tentang penampilan dan penggambaran laki-laki yang muncul dalam berbagai program hiburan.Â
  Fenomena tersebut telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam mendefinisikan kembali konsep maskulinitas di seluruh kawasan Asia (Kartika, 2019). Berbeda dengan macho, boy grup K-pop ini menghadirkan tipe maskulinitas yang lebih lembut yang disebut dengan soft masculinity. Hal ini umumnya digambarkan sebagai perawakan feminin dari idola pria K-Pop di mana pria menggunakan makeup dan tampil cantik, tetapi bukan berarti juga dapat disimpulkan mereka tidak maskulin. Fenomena ini sangatlah terdekonstruksi dan membuktikan bahwa Korea Selatan memiliki istilah soft masculinity yang berbeda dengan istilah maskulinitas secara umum.
  K-Pop mengantongi banyak pujian dari dunia, meskipun demikian tidak sepenuhnya k-pop sukses menaklukkan pecinta musik dalam negeri, khususnya dari kalangan pria. Bakat menari dan menyanyinya kebanyakan hanya disukai wanita, jarang untuk menemukan ARMY (sebutan untuk penggemar BTS) dari kalangan laki-laki, begitupun yang terjadi pada boyband lainnya. Kalaupun ada, menjadi penggemar K-Pop harus pasrah dengan sentimen negatif yang terus membuntuti. Penggemar K-Pop laki-laki lebih rentan disudutkan daripada pengggemar perempuan, karena dianggap 'abnormal' jika laki-laki mengidolakan sesama gendernya.Â
  Normativitas ini selalu menempatkan perempuan lebih layak mengidolakan boyband, dan sedikit wajar jika laki-laki mengidolakan girlband. Buktinya, lebih awam kalau laki-laki mengungkapkan kekagumannya kepada girlband ketimbang laki-laki yang memuji boyband. Alasannya karena mengidolakan KPop masih saja dipahami secara sempit sebagai proses ketertarikan.Â
  Walhasil kekaguman tak ubahnya konsep binarisme seksual, yang mendisiplinkan ketertarikan laki-laki wajarnya kepada perempuan, dan sebaliknya perempuan kepada laki-laki. Akan tetapi, kalau kamu laki-laki dan mengidolakan Ronaldo, Lorenzo , Band Noah atau Afgan, patut bersyukur karena tidak ada stigma buruk sedikitpun, justru terkesan wajar. Padahal objek yang mereka kagumi antara penggemar BTS dan penggemar Ronaldo sama-sama punya kategori gender laki-laki. Tapi publik berbeda dalam memperlakukan hubungan antara penggemar dan idolanya jika itu K-Pop.
Pemaksaan untuk Menerima Stereotipe Maskulinitas
   Perlakuan diskriminatif yang dialami boyband K-Pop dan penggemarnya, jadi bukti yang cukup jelas untuk mengurai akar permasalah yang timbul karena adanya toxic masculinity. Suatu ketentuan yang merujuk pada adiksi terhadap penerapan nilai-nilai maskulin laki-laki, melalui pembatasan antara perilaku yang dianggap 'normal' dan 'abnormal'. Standar kejantanan laki-laki tampak sangat digila banyak orang, yang berujung digunakan untuk memojokkan siapa saja yang tidak bersedia mengikuti normativitas yang telah dibuat. Ini yang terjadi pada Boyband K-Pop dan penggemarnya. Alasannya karena bintang K-Pop punya penampilan yang cukup nyentrik bila dibandingkan gaya berpakaian umumnya laki-laki di Indonesia.Â
  Tampilan modis dan rapih adalah hal yang penting, seperti memasukkan ujung baju ke dalam celana, mewarnai rambut, melipat ujung celana atau memakai model potongan yang menggantung, dan model-model lainnya yang kini mulai terglobalisasi. Malahan model ini dijiplak oleh para penggemar perempuan di Indonesia, sehingga meninggalkan kesan bahwa yang berhak memasukkan ujung baju dan melipat celana hanyalah perempuan. Akan dianggap aneh jika laki-laki Indonesia meniru gaya tersebut.
  Selain itu anggota boyband dalam penampilannya sering kali memakai riasan wajah, merawat kulit, mencat rambut, hingga bertindik. Bagi mereka hal ini tampak biasa saja, tapi tidak buat laki-laki di Indonesia. Karena stereotip yang ada menempatkan make up dan seperangkat perawatan wajah lainnya hanyalah kepunyaan perempuan. Kalau ada laki-laki yang berani mengaku dirinya menggunakan bedak atau lipstik, siap-siap saja dilabeli 'banci'. Padahal kosmetik dan seperangkat perawatan wajah tidak pernah menciptakan sekat gender.Â
  Akses atas perawatan tubuh semestinya milik siapa pun, cantik dan gagah itu hanyalah perspektif setiap orang untuk menggambarkan bagaimana model perempuan dan laki-laki yang ideal. Karena itulah apa yang ditampilkan oleh bintang K-Pop merepresentasikan keberagaman ekspresi gender setiap manusia. Mereka memahami pribadinya sebagai laki-laki dan maskulinitas lewat serangkaian performativitasnya tersendiri, yang belum tentu sama dengan persepsi laki-laki Indonesia. Kalau di Indonesia semakin gelap warna kulit cenderung lebih maskulin, lebih lagi kalau punya lengan dan perut berotot, berkumis atau berjanggut. Namun, apa daya orang-orang Korea yang secara biologis sulit berwarna kulit gelap. Pemahaman inilah yang membawa laki-laki Indonesia cenderung melihat boyband K-Pop tidak semaskulin orang Indonesia.