Terlihat dari jumlah rumah lanting yang berkurang cukup signifikan. Pada awal tahun 2000, puluhan rumah lanting yang awalnya tersebar di daerah Sungai Baru hingga Seberang Mesjid, sekarang hanya tersisa kurang lebih 10 rumah lanting, tersisa hitungan jari dari jumlah yang cukup banyak diawal tahun 2000-an.
Banyak tanggapan bahwa relokasi rumah-rumah Lanting ke Mantuil tidak strategis dan cukup memberatkan bagi warga yang bermukim cukup lama di daerah mukimnya, bahkan mereka yang bermukim sampai puluhan tahun
 "Berat sebenarnya kalau mau pindah, mesti mikirkan wilayahnya, tetangganya, dan yang pasti aman atau tidaknya tempat yang disediakan" tanggap Jumadi (53) , seorang pensiunan yang dulunya bekerja sebagai supir kelotok (sebutan Banjar untuk perahu bermesin).
Dirinya berucap bahwa para pemilik rumah lanting menerima saja apa yang telah diatur oleh pemerintah asalkan sesuai dengan total kompensasi ganti ruginya jika rumah mereka nanti benar-benar digusur, atau dengan wacana pemerintah kota yang hendak merenovasi rumah lanting haruslah sesuai dengan penghasilan hidup mereka.
"Rencananya (oleh pemerintah), rumah kami ini akan diperbaharui dengan pelampung dari pipa besi dan tawing rumah dari kayu yang baru supaya terlihat kada kumuh banar, tapi yang memberatkannya adalah semua tawaran perbaikan itu harus kami yang mengkredit. Sedangkan kami ini rata-rata urangnya kada tapi baduit juga ekonomi sekarang cenderung fluktuatif. Juga yang saya tahu harga pipa besi dan kayu-kayu tersebut ditaksir sangat mahal dan jangka pengkreditannya bisa sampai 50 tahun. Keburu rusak duluan pipanya ketimbang selesai pelunasannya" jelasnya
Jumadi  adalah salah satu dari sekian puluh warga pemukim rumah-rumah lanting sekitar Sungai Martapura. Mayoritas mereka banyak yang bermukim menggunakan rumah lanting karena alasan profesi dan masih masifnya arus transportasi air di tahun 90-an. "Rumah ini (Lanting) dulu aku beli dari orang yang dulunya sudah bermukim lama disini dan pada saat itu aku membeli rumah ini tahun 1984 karena pekerjaan harianku mengantarkan jukung-jukung ke pasar pakai kelotok.
Dulu di sini (red : Seberang Mesjid) ramai dilewati kelotok-kelotok bahkan kapal-kapal yang hendak menuju muara barito banyak melalui sungai ini. Jadi kalo dahulu rumah ini dapat goncangan dari ombak yang tinggi, kalo sekarang yah jarang" tambah Jumadi
Bukan hanya Jumadi, warga lainnya yang sekarang masih bermukim di rumah lanting juga merasakan hal yang sama. Dari yang kesehariannya berjualan makanan, bahan bakar kelotok dan kapal, hingga pengemudi kelotok nya pun merasakan pergeseran budaya tersebut. Apalagi dengan kebijakan pemerintah kota sekarang yang ingin menjaring seluruh rumah lanting yang berada di jalur hijau cukup meresahkan mereka.
"Kalaupun pada akhirnya memang digusur, yah paling tidak ganti ruginya sesuai dengan hitungan rumahnya, kalau mau dihanyari paling tidak sesuaikan dengan kantong kami. Tapi sayang pang, kalau semua rumah lanting yang ada ini digusur. Paling kada tuh adalah solusi lain dari pemerintah. Kami ni ya maumpati haja." Imbuhnya. (alfimubarrak)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H