Orde baru adalah era di mana kebebasan berpendapat seolah hanya angan belaka. Pada era ini orang harus tunduk pada pemerintah. Perlu dicatat, rezim Orde Baru sensitif terhadap kritik secara umum. Kepemimpinan jaman itu dianggap otoriter dan mematikan semangat demokrasi.
Wiji thukul adalah cerita penting dalam sejarah Orba yang tak patut diabaikan. Sastrawan dan aktivis yang melawan penindasan rezim Orde Baru ini lahir di Sorogenen, Solo 26 Agustus 1963. Dia bernama asli Wiji Widodo. Nama belakang 'Thukul' disematkan oleh Cempe Lawu Warta saat dia mulai aktif berteater di kelompok teater Jagat. Thukul memiliki arti tumbuh, Wiji Thukul artinya biji yang tumbuh.
Pendidikan terakhirnya hanya sampai kelas 2 di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) jurusan tari. Anak seorang penarik becak ini mengalah putus sekolah demi pendidikan adik-adiknya. Untuk menyambung hidup, Thukul pernah menjadi tukang pelitur, loper koran hingga mengamen dengan membacakan puisi keluar masuk kampung yang kadang-kadang diiringi musik gamelan.
Di samping berpuisi Thukul juga main teater. Bersama dengan Sarang Teater Jagat , Thukul mementaskan cerita yang idenya kebanyakan berangkat dari sebuah protes sosial di sekitar kampungnya yang kumuh. Thukul juga mengajar anak-anak kecil melukis di Sanggar Suka Banjir dan menyuarakan nasib orang kecil dalam Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKKER) yang merupakan salah satu organisasi sayap Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Thukul mengupas kehidupan rakyat kecil yang hidup di bawah kepemimpinan otoriter pada masa Orde Baru melalui puisinya. Rasa-rasa pahit kemiskinan dan penderitaan terasa begitu pilu terurai melalui untaian kata yang Thukul tulis. Bagi dia puisi adalah media yang mampu menyampaikan permasalahan rakyat kecil dan juga bagi kaum tertindas di masa Orde Baru.
Banyak sekali aksi yang diikutinya, apalagi saat didapuk menjadi Ketua Divisi Budaya oleh PRD. Di tahun 1992 Thukul menentang  pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo. Memimpin aksi petani di Ngawi, Jawa Timur dan terus berlanjut akhir tahun 1995 menjadi penggerak demonstrasi besar aksi protes karyawan PT Sritex. Aksi kala itu berbuntut pemukulan yang mengakibatkan luka parah di mata kanannya. Semenjak itu, Thukul diincar karena diduga sebagai dalang demonstrasi, puisi-puisinya dicurigai sebagai penggerak rakyat kecil melakukan protes.
Pasca peristiwa 27 Juli 1996, jelang kejatuhan Soeharto tahun 1998, PRD dibubarkan dan sejumlah aktivis ditangkap, diculik dan dihilangkan secara paksa. Sebagai seorang aktivis PRD yang dituduh subversif oleh pemerintah Orde Baru, Thukul dijemput di rumahnya di Solo pada Agustus 1996. Namun Thukul menyamar dan kabur keluar dari rumah memakai helm, meninggalkan istrinya Siti Dyah Sujirah alias Sipon yang dinikahinya Oktober 1989 Â silam beserta kedua anaknya yang masih kecil. Semenjak itu Thukul hinggap dari satu tempat ke tempat lain hidup untuk menyelamatkan diri. Dalam persembunyiannya Thukul sempat menulis sajak untuk anak-anaknya, Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah.
Kalau teman-temanmu tanya
Kenapa bapakmu dicari-cari polisi
Jawab saja:
"Karena bapakku orang berani"
Sekitar bulan Maret-April 1998 jejaknya tak lagi diketahui. Hingga kemudian hilang tak tentu rimba hingga hari ini. Wiji Thukul tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi maupun represi di NKRI ini, melainkan advokasi melalui puisi. Namun, hak hidupnya dibuat mati. Dia telah menjadi korban praktik penghilangan orang. Lewat jalan panjang dan berdarah, Wiji Thukul mendobrak pintu kebebasan berbicara. Sosok Thukul telah menghilang, tapi bara api pada kata-katanya tak kunjung padam. Thukul adalah simbol dari betapa mahal harga yang harus dibayar dari perjuangan merebut demokrasi. (novia)
REFERENSI
- Miftahuddin. (2004). Radikalisasi Pemuda. PRD Melawan Tirani. Jakarta: Desantara.
- Nganthi Wani, Fitri. (2018). Kau Berhasil Jadi Peluru .Partisipasi Indonesia & Warning Books
- Tim Buku Tempo. (2013). Wiji Thukul : Teka -- Teki Orang Hilang. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia .
- Thukul, Wiji. (2004). Aku Ingin Jadi Peluru. (Cetakan Kedua). Magelang: Indonesia Tera.
- __________. (2013). Para Jendral Marah-marah. Majalah TEMPO.
- Wiji Thukul, dkk. (2007). Kebenaran Akan Terus Hidup. Jakarta : YAPPIKA dan IKOHI.
- www.wijithukul.tk diakses pada 5 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H