*) Oleh: Martinus D. Watowuan
Sadar atau tidak sadar, literasi sebenarnya bukan hal yang baru dikenal belakangan ini. Sudah sejak lama literasi telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan dan perkembangan manusia dari waktu ke waktu.
Dalam pendekatan historis, literasi telah ada mulai dari zaman prasejarah, hingga di zaman melenial saat ini. Jelas terkonfirmasi dengan catatan sejarah tentang simbol, gambar, tanda, huruf, dan angka, yang terdapat pada batu, pohon, gua, dan benda-benda lainnya.
Konsepsi literasi secara sederhana dapat dipahami sebagai serangkaian kemampuan manusia dalam mengolah informasi yang berkaitan dengan menulis, membaca, berbicara, dan berhitung. Dengan kemampuan literasi yang dimiliki oleh setiap individu, maka proses interaksi dengan individu lainnya dapat berjalan dengan baik.
Melalui Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti, yang salah satunya terkait kewajiban seluruh siswa-siswi menggunakan waktu 15 menit untuk membaca buku sebelum Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dimulai, tentu menjadi salah satu bentuk dukungan, pun harapan pemerintah akan tumbuhnya iklim literasi. Merupakan salah satu titik pijak bagi para guru, pegiat, dan pemerhati literasi, untuk terus menumbuhkan iklim literasi, khususnya dalam lembaga pendidikan.
Di Kabupaten Flores Timur (Flotim), Nusa Tenggara Timur (NTT), harus diakui bahwa geliat literasi sekolah sudah semakin mengakar. Gerakan ini gencar diinisiasi oleh para guru, pegiat, pemerhati literasi yang salah satunya berkecimpung dalam wada Asosiasi Guru Penulis Indonesia (Agupena) cabang Flotim, yang kini sedang dinakhodai Maksimus Masan Kian.
Perjuangan untuk menumbuhsuburkan iklim literasi yang terus digalakan Maksimus bersama guru-guru kampung di Kabupaten yang terletak di ujung timur pulau Flores ini, sangat mudah dilihat dan atau ditelusuri. Baik secara langsung, maupun melalui jejak-jejak digital mereka oleh warganet. Kendati gerakan literasi sekolah di Flotim yang terbilang masih muda, namun manfatnya sudah dapat dikecapi, dan perlu untuk diapresiasi.
Sebut saja, Gerakan Katakan dengan Buku (GKdB), yakni menyumbangkan buku-buku kepada anak-anak kampung. Mengadakan workshop dan seminar literasi, membimbing siswa-siswi dalam tulis-baca puisi, menulis opini, dan liputan kegiatan (jurnalistik).
Mereka juga getol mendorong terbentuknya komunitas literasi, perpustakaan sekolah, mading sekolah, dan taman baca. Memberikan ruang apresiasi dan kreativitas, seperti lomba cipta dan baca puisi, serta kegiatan-kegiatan lain yang tentunya berbasis literasi.
Berkat kerja keras pegiat literasi dan semangat guru-guru kampung, karya sulung berupa buku berjudul "Mata Pena" telah lahir dari rahim Komunitas Literasi Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Lewolema. Seperti yang dilansir Weeklyline.Net, bahwa SMP Negeri 1 Lewolema, pecahkan rekor sebagai sekolah pertama lingkup Kabupaten Flores Timur yang meluncurkan buku karya siswa pada Rabu (31/10/18) di Aula SMPN 1 Lewolema, Dusun Welo, Desa Painapang, Kecamatan Lewolema, Kabupaten Flores Timur.
Selain itu, buku "Selaut Sastra Adonara" milik siswa-siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Adonara Barat juga telah diluncurkan pada Sabtu (03/11/18) di halaman sekolah SMAN 1 Adonara Barat, Desa Waiwadan, Kecamatan Adonara Barat, Kabupaten Flores Timur. Sungguh, ini merupakan capain yang sekali lagi, patut diapresiasi.