Mohon tunggu...
Tini Sastra
Tini Sastra Mohon Tunggu... profesional -

Ingin berbagi pengalaman dan pemikiran..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari Penindasan Suami ke Penindasan Majikan

12 Agustus 2016   09:51 Diperbarui: 12 Agustus 2016   10:02 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Srikandi menerima semua itu sebagai sesuatu yang ‘wajar’ karena sepanjang yang dia tahu memang begitulah yang berlaku dalam masyarakat tentang hubungan antara pembantu dan majikan, bahwa tugas dan kewajiban pembantu adalah bekerja dan mengabdi pada majikan. Sedikit pun Srikandi tidak sadar bahwa ketika ia dilarang istirahat saat lelah, tidak diijinkan istirahat saat tidak enak badan, disuruh mengerjakan pekerjaan yang bukan tugasnya, dilarang berkomunikasi dengan tetangga, atau dilarang keluar rumah adalah sebagai bentuk penindasan. Malah sebaliknya, dalam kondisi apa pun dan seberat apa pun beban yang harus dijalani, Srikandi masih tetap merasa berterima kasih pada majikannya yang dianggapnya sudah memberi pekerjaan dan ‘penghidupan’.

Apa yang dialami Srikandi barangkali hanya sebuah contoh saja dari sekian banyak perempuan yang bernasib sama, yaitu keluar dari rumah-rumah suaminya, rumah-rumah ayahnya, atau saudaranya untuk mencari kebebasan dan kemandirian ekomomi, tetapi yang terjadi mereka hanya menuju penindasan baru di tempat majikan-majikan mereka atau di tempatnya bekerja. ‘Keluar dari mulut singa masuk ke mulut buaya’, mungkin itulah istilah klisenya. Kebebasan dan kemandirian yang mereka dapatkan hanyalah semu. Mereka memang tidak tergantung atau mandiri secara ekonomi dari suami ayah atau anggota keluarga lainnya, tetapi mereka menuju ke ‘ketergantungan’ ekonomi pada majikan-majikan mereka. 

Mereka mungkin merasa setara dan mempunyai posisi tawar di hadapan suami atau ayah mereka, tetapi mereka menjadi tunduk, patuh dan tergantung pada majikan mereka. Bahkan mereka tidak sadar kalau dieksploitasi, dan kalau pun sadar mereka tetap saja tidak berdaya untuk melakukan perlawanan karena posisi mereka yang tergantung pada majikan. 

Ironisnya, terkadang bentuk eksploitasi itu lebih kejam dan tak manusiawi dari yang dilakukan oleh suami atau ayahnya. Seorang ayah atau suami mungkin masih kira-kira dalam memperlakukan anak perempuannya atau istrinya karena masih ada rasa memiliki, hubungan darah, atau hubungan emosional (kecuali yang punya kelainan jiwa parah). Sementara seorang majikan yang merasa ‘bukan apa-apanya’, kecuali kepentingan mengambil keuntungan  dari tenaga para pembantu, buruh, atau karyawannya, ia bisa melakukan apa saja demi tercapai kepentingannya itu.

Apa yang menimpa Srikandi barangkali masih bisa dimengerti karena  minimnya pengetahuan dan rendahnya pendidikan sehingga ia buta hukum dan tidak tahu akan hak-haknya. Srikandi bekerja tanpa ada kesepakatan, perjanjian, atau aturan main yang jelas, tentu yang menyangkut hak-hak Srikandi sebagai pekerja. Perjanjian biasanya ada dan itu sifatnya sepihak dari majikan, yaitu perjanjian kepatuhan dan tunduk pada aturan majikan. 

Hal seperti ini mungkin banyak menimpa pada perempuan lain yang bekerja sebagai buruh di pabrik-pabrik besar maupun kecil, sebagai Buruh Migran di luar negeri, bahkan yang di kantor-kantor sekalipun. Kalaupun mereka tidak dimanfaatkan tenaganya, ada potensi lain yang dimanfaatkan, seperti kecantikan wajahnya, kemolekan tubuhnya, mereka disuruh berdandan begini dan begitu demi menarik pelanggan, reputasi perusahaan, citra perusahaan, dll, yang intinya mereka tanpa sadar harus memberi keuntungan pada majikan tempatnya bekerja. Apa ini bukan eksploitasi  atau penindasan?

Lantas di mana tempat yang aman dan bebas dari eksploitasi atau penindasan ? Tentu saja tidak semua rumah dan tak semua tempat bekerja menjadi tempat penindasan bagi perempuan. Karena banyak juga suami, ayah, majikan yang baik dan tahu bagaimana menghargai perempuan. Sekarang yang penting bagaimana perempuan itu sendiri sadar akan haknya untuk tidak mau dan tidak boleh dieksploitasi serta ditindas, baik itu di rumah-rumah suaminya atau di tempat-tempat bekerja. 

Tentu saja harus dibarengi dengan usaha terus-menerus dalam mengkampanyekan pada masyarakat (yang di dalamnya termasuk suami, ayah, majikan, pemilik perusahaan) untuk menyadari hak perempuan bahwa perempuan berhak untuk tidak ditindas dan berhak untuk tidak dieksploitasi.. (Purwakarta Agustus 2016)  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun