Beberapa hari harus terbaring di rumah karena terpapar Covid-19, rasanya bukan hal yang saya inginkan.
Saat itu saya putuskan tidak bercerita ke sosial media dan banyak teman bukan karena merasa covid adalah aib, tapi lebih menjaga privacy saya dan keluarga demi memulihkan kesehatan dengan ketenangannya hati.
Ga bisa dipungkiri walaupun tidak bercerita, tapi tetap ada pihak-pihak yang harus kami infokan bahwa saya dan ternyata menyusul anak gadis dan suami saya terpapar covid.
Beberapa hari di awal, yang terjadi kepala pusing, cenat cenut plus napas kayak rada berat, pas di cek ternyata saturasi Oksigen di 91. Ngeliat HP blur semua. Duhhh angka 91 aja berasa gimana, apalagi para penderita yang konon ada saturasinya cuman di 80-an, bahkan 70?. Menyusul perut ga enak kayak suka mules-mules ga jelas. Makanan semua  terasa pahit dan swing mood kadang sedih, kesel, marah.
Hasil PCR saya saat itu dengan nilai 16. 11. Anak gadis saya menyusul di hari ke 5 saya, hasil PCRnya 24.85
Hanya di grup keluarga dan 2 grup 'main' saya infokan bahwa saya terpapar dan japri mulai berdatangan
"Sis minta alamat"
"Mba kalau ga keberatan alamatnya ya"
Ademmm rasanya... langsung sent alamat.
Dari dua grup akhirnya melebar, ke beberapa lingkar pertemanan.
Dan ada lho yang japri-japri seperti ini.
"Mba... kok bisa? Udah di tracing?"
"Bisa ga cerita ciri-cirinya apa", biar kita waspada"
"Mendingan elo searching deh makanan apa yang bagus pas loe covid gini, biar loe cepet sehat"
"Mba jawab dong, loe sakit apa!", saat saya belum jawab karena kepala masih pusing
Hmm emosi bacanya kan?. Orang sehat aja bisa iflil, gimana yang sakit?
Jadi gini ya,