Pengagungan terhadap tokoh emansipasi wanita, RA Kartini tak terlepas dari menuai pro-kontra. Pasalnya, masih ada sederet nama perempuan selainnya yang memiliki ide, gagasan, dan perjuangan penyetaraan derajat laki-laki dan perempuan, bahkan lebih dari apa yang dilakukan perempuan kelahiran Rembang ini. Namun, nama mereka tak sebesar dan semenggema nama RA Kartini.
Tanpa menutup mata dari para perempuan terdahulu dengan perjuangannya yang gigih, kita tak dapat menafikan pemikiran RA Kartini dalam upaya membebaskan kaum perempuan pribumi kala itu dari cengkraman paham patriarki. Sebuah paham yang menganggap perempuan hanyalah manusia nomor dua, yang berada di bawah kuasa laki-laki.
Meski raganya terkungkung oleh tradisi yang telah mengakar kuat, terbatasi oleh status sosial yang mengikat, jiwa Putri Bupati Jepara ini tak dapat menahan gejolak dan pemberontakan yang terus menggebu. Ia ingin menjadi manusia bebas, terbang tinggi menggapai cita. Hidup dalam kesetaraan hak dan kewajiban.
Menyalurkan pikiran, ide dan gagasannya, Kartini memanfaatkan kemampuannya dalam berbahasa Belanda. Ia menuangkan pemikirannya dalam bentuk tulisan dan mengirimkannya kepada teman-teman di Belanda, salah satunya adalah Rose Abondene. Dari diskusi dan sharing dengan teman-temannya inilah, perempuan yang masih memiliki hubungan nasab dengan sultan Hamengkubuwana VI ini mengembangkan pengetahuannya. Mengepakkan sayap untuk terus berkarya.
Meski banyak perempuan pribumi semasanya yang tak mengenal siapa sosok Kartini, itu menjadi sebuah kemakluman, karena ia memperjuangkan nasib perempuan pribumi yang dalam status sosial dipandang rendah dan remeh melalui tulisan-tulisan yang dikirim ke teman-teman Belandanya dari balik dinding rumah yang memingitnya.
Tradisi telah mengurung Kartini dari dunia luar, di usianya ke 12, ia harus dipingit dan menunggu seorang laki-laki datang melamar. Meski memperjuangkan hak-hak perempuan pribumi untuk menjadi manusia bebas, Kartini tak pernah melawan orang tuanya. Baginya, sebagai anak adalah sebuah keharusan untuk birrul walidain (berbakti pada orang tua). Haram bagi emansipator ini membuat keduanya terluka. Sehingga saat diminta untuk menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, ia menurut meski sebagai istri ke empat.
Darah bangsawan Jawa yang mengalir dan menyatu dengan dirinya, juga basic pesantren yang pernah ditempuhnya, menjadikannya sosok yang mampu menerima poligami_meski dengan sedikit saja kerelaan tentunya_. Ia meyakini kebenaran ajaran agamanya yang memperbolehkan adanya poligami, namun kiranya tak ada pula seorang pun yang mengingkari betapa sulitnya menjalani kehidupan berpoligami. Terlebih seorang perempuan, perempuan mana yang berharap dimadu?
Dalam pandangan penulis, selain wujud baktinya pada orang tua, kepentingan umat menjadi satu alasan tersendiri sehingga Kartini bersedia menjadi istri keempat. Ario Singgih adalah imam yang baik, karena ia memberikan kebebasan bagi Kartini untuk menggapai cita dan impian. Keinginan Kartini untuk membangun sekolah wanita diizinkan, bahkan dibantu olehnya. Sehingga ia memiliki ruang untuk memperjuangkan ide-idenya.
Dari perjalanan hidup, pemikiran, ide, gagasan dan gerakan Kartini di atas, kiranya dapat menjadi refleksi bagi kita bersama, terutama kaum perempuan, untuk mensyukuri kondisi dunia yang telah memperhatikan kesetaraan perempuan dan laki-laki, dengan memberikan kontribusi riil bagi masyarakat, lingkungan, agama, bangsa dan negara. “Ukirlah sejarah hidupmu dengan tinta emas!!!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H