Oleh : Irhamni Rahman, Mengabdi di SDN 22 Sarang Burung Usrat, Kec Jawai, Sambas, KalBar.
[caption id="attachment_198641" align="alignleft" width="300" caption="Dok Pribadi, Poto Irhamni Rahman nggak ada, jadi pake poto jamil lagi bagi2 cokelat ke anak-anak"][/caption] “Dalam hitungan Matematika boleh saja 3 dikurangi 3 adalah nol besar, atau 6 dibagi 3 adalah 2. Namun dalam kehidupan 3 dikurangi 3 tidaklah habis, melainkan meringankan beban perjalanan hidup, dan 6 dibagi 3 bukan terkurangi menjadi menjadi dua, melainkan ‘semua bahagia’ “ Ya, hikmah tersebut benar-benar saya rasakan tepat saat koper hitam besar penuh padat yang berisikan ta’jil berupa kotak-kotak susu segar yang terbagikan ke seluruh penjuru warga Dusun Harapan di sekitar sekolah SDN.22 SB.Usrat habis menjelang bedug Maghrib yang dinantikan.
Sore itu saat saya bersama para siswa yang bermain sore ngabuburit di lapangan sekolah, pergi berbondong-bondong keliling rumah warga. Kami hendak membagikan ta’jil kepada mereka. Kami menaruh seluruh ta’jil di dalam koper. Awalnya kami cukup kepayahan menarik koper tersebut. Mengingat beban koper yang berat ditambah jalan pasir yang tidak mudah ditempuh oleh roda-roda kecil millik si koper yang tak mampu protes ini. Satu per satu rumah kami kunjungi, memberikan ta’jil, bercengkrama sesaat, dan pergi ke rumah berikutnya setelah mendapatkan segudang doa dari warga, begitu seterusnya hingga rumah terakhir. Semakin lama perjalanan berbagi ta’jil ini pun semakin menyenangkan, karena dari rumah ke rumah semakin banyak doa dan senyuman yang kami terima. Semua pintu menawari kami untuk berbuka bersama, adapula yang membingkiskan ta’jil yang mereka miliki. Ditambah lagi koper yang semula terlalu berat, berangsur menjadi ringan dan mudah untuk ditarik keliling kampung menuju pulang ke sekolah.
Koper memang menjadi kosong, habis, dan terbagi. Namun rasa cinta para warga yang terbawa membuat buka puasa hari itu terasa lebih bermakna. Tuhan memang kerap kali menjanjikan balasan rezeki berkali lipat untuk setiap sedekah yang manusia berikan. Namun, balasan Tuhan itu tidak melulu tentang berapa banyak materi yang kita miliki, berapa besar penghasilan yang kita raih, atau seberapa mewah tempat tinggal yang menaungi kita. Saya semakin meyakini betapa luasnya dan beragamnya nikmat Tuhan bernama “rezeki” yang Dia maksud. Ketenangan dalam hidup, indahnya persaudaraan adalah nikmat yang tak terukur dengan nominal bermerek uang. Jauh lebih berarti.
Menjadi seorang guru memang terus menjadikan hidup seolah kerap meminta kepada kita tentang tuntutan-tuntutan dan beban-beban moral maupun material yang seolah tak ada ujungnya. Hal tersebut seharusnya menjadikan seorang guru menjadi salah satu dermawan papan atas di dunia. Orang paling tidak boleh pelit di dunia ini adalah guru, makhluk yang harus paling royal tanpa harus dipertanyakan loyalitasnya adalah guru! Kenapa begitu? Tentu saja! Coba kita bayangkan jika para guru di dunia ini adalah orang pelit yang penuh hitung-hitungan untung-rugi?!Apa yang terjadi? Tepat Sekali! Komersialisasi pendidikan! UUD alias ujung-ujungnya duit! Apa kata dunia?!
Maka saya rasa, tidaklah berlebihan jika seorang guru mau sedikit merubah konsep pelajaran Matematika dalam hidupnya. Mau untuk merubah paradigma hitung-hitungan manusia menjadi hitung-hitungan tak kasat mata yang tak perlu dipusingkan hitungannya. Karena memberi apa yang kita miliki tidaklah sama sekali mengurangi nilai yang kita punya, membagi apa yang mereka butuhkan tidaklah menipiskan rejeki di tangan kita. Sungguh, bahagia itu bukan ketika kita memiliki koper penuh berisikan emas dan batu permata yang hanya teronggok rapih di lemari besi rumah kita. Bahagia adalah ketika keberadaan kita menjadi sumber senyum untuk “mereka”.
Duhai guru, teruslah memberi, tetaplah berbagi, maka kelak engkau akan temukan kebahagiaan hakiki! Salam Pendidikan!
serif
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H