Judulnya Terkubur Bersama Pendiri Bangsa
      Saya meyakini secara ideal politisi lahir dari kebutuhan masyarakat atau komunitas, namun pada praktek yang terjadi saat ini, politisi lahir atas manipulasi kelahiran atau merekayasa kelahiran seorang politisi.  Kilas balik ke belakang, politisi-politisi yang terlahir di Indonesia pada masa awal perjuangan kemerdekaan ialah politisi yang terlahir dari para pelajar atau anak-anak muda yang secara aktif mengakses Pendidikan.
Sebut saja Tan Malaka, seorang pemuda dari tanah minang yang kemudian diberangkatkan ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan. Dalam perjalanan kehidupannya Tan Malaka banyak membaca dan kerap berdiskusi dengan banyak orang, bahkan dengan mereka yang tidak mengenyam pendidikan. Dengan latar belakang pendidikan yang dimiliki serta bekal atas perbendaharaan buku yang telah dibaca maupun hasil diskusi bersama banyak orang membuat Tan Malaka memiliki kesadaran bahwa penjajahan Belanda harus diakhiri untuk memperbaiki nasib masyarakat Indonesia yang pada masa kolonial menjadi korban perampasan oleh negara penjajah seperti Belanda dan Jepang. Karena memiliki akses untuk pendidikan akhirnya Tan Malaka mengerti cara bagaimana seharusnya keluar dari cengkraman kolonial Belanda.
      Sosok selanjutnya adalah proklamator Negara Indonesia yaitu Ir. Soekarno. Pemuda dari Jawa Timur yang juga memiliki akses pendidikan dalam negeri Hindia Belanda. Pendidikan membawa Soekarno pada banyak gagasan hebatnya hingga mencetuskan banyak ide dan gagasan yang sangat ideologis. Soekarno bukanlah anak seorang yang cukup penting di negara Hindia Belanda pada masa tersebut, akan tetapi berkat dari kecakapannya dan ketekuanannya dalam belajar dan berdiskusi Soekarno banyak melahap buku-buku filsafat, sejarah dan Politik. Belajar di rumah HOS Tjokroaminoto membuat Soekarno bertemu banyak teman pribumi yang tidak kalah pintarnya, contohnya Semaun tokoh komunis yang tersohor dan menjadi teman berdebat Soekarno mengenai pemikiran dunia dan kritik terhadap banyak hal.
      Tokoh seperti Sutan Sjahrir, Agus Salim, M.Yamin, M.Hatta, Wahid Hasyim dan banyak nama intelektual lainnya menjadi sosok yang memulai dan berjuang untuk Indonesia merdeka. Dan diantara nama-nama yang saya sebut diatas tidaklah satu orangpun diantara mereka yang tidak terdidik, mereka memiliki reputasi bacaan dan reputasi dialektika yang sangat dahsyat. Saya memahami mereka semua dengan cara yang sama, yaitu dengan membaca bahkan saya bersusah payah memahami pemikiran dari tokoh-tokoh diatas dengan mencari karya buku/jurnal/artikel atau sejenisnya yang berhasil di publikasi sebagai bagian dari perkenalan saya dengan para pemikir tersebut. Saya lupa kapan persisnya bahwa orang terdidik di Indonesia tidak lagi acuan dalam menciptakan bangsa yang besar.
      Dewasa ini, salah seorang Youtuber Deddy Corbuzier juga kerap memunculkan dialektika mengenai penting atau tidaknya sebuah pendidikan. Saya mengikuti perdebatan dan pertentangan yang tercipta mengenai Pendidikan dan memang tiada habisnya apabila dibenturkan dengan pencapaian finansial atau materil. Dalam ranah Politik juga mengalami hal yang sama, pendidikan bukanlah faktor utama dalam kandidasi politik di Indonesia atau mungkin pemikiran yang cemerlang, akan tetapi kandidasi politik Indonesia hari ini berorientasi dan bertumpu pada popularitas dan "isi tas" saja. Kemudian muncul pertanyaan dalam benak kita bersama, kapan hal ini dimulai ? Hal ini dimulai pada saat munculnya sosok Joko Widodo sebagai seorang pemimpin yang memiliki kekuatan pada Gimmick dengan mempertontonkan kesederhanaan dan kepolosan seolah-olah tidak memiliki potensi menjadi penjahat. Citra sederhana dan polos sebagai seorang sosok menjadi strategi yang sangat berhasil dilakukan oleh Joko Widodo, karir politiknya adalah yang paling sempurna secara jenjang, bahkan terkesan sangat mulus. Joko Widodo merupakan seseorang yang kita kenal sebagai sosok yang rendah hati, dekat dengan masyarakat, pemimpin yang bekerja untuk masyarakat, jujur dan tulus. Itulah citra yang muncul di masyarakat setelah semua formulasi atau jurus marketing politik dilaksanakan.
      Joko Widodo pada akhirnya berubah wujud menjadi seorang politisi ulung dengan memenangkan banyaknya pertempuran politik. padahal pengalaman politik Jokowi tidaklah sebanding dengan Megawati, Prabowo, Amien Rais, bahkan Akbar Tanjung, akan tetapi dirinya dapat mencapai semua jenjang politik hingga puncak karir politisi yaitu menjadi Presiden. Keadaan Jokowi yang tidak memiliki trah dan terkesan bukan konglomerat yang menjadi nilai positif yang menonjol, akan tetapi hal itu berubah secara kontradiktif setelah Gibran dan Bobby Nasution dicalonkan sebagai Walikota. Wajah Jokowi berubah menjadi seorang politisi handal yang dapat mengendalikan segala hal di Indonesia. Hingga akhirnya anak sulung Joko Widodo yaitu Gibran berhasil menjadi Wapres terpilih pada 2024 bersama Prabowo, Jokowi memiliki andil yang sangat besar dalam pemenangan tersebut, mungkin tidak terbukti dengan kasat mata akan tetapi energy yang kemudian kita rasakan tidaklah dapat berbohong.
      Citra intelektual sebagai pemimpin politik kemudian sirna setelah Jokowi menjadi seorang presiden, bahkan dirinya tidak pernah menyampaikan argumentasi ideologis seperti yang banyak dilontarkan oleh presiden Indonesia sebelumnya. Jokowi bukanlah sosok yang kita kenal sebagai intelektual bahkan dirinya hanya seorang sarjana yang tidak menulis dan membaca buku-buku pemikiran. Hal itu juga diwariskan pada anak-anaknya Jokowi yang jauh dari kata terdidik atau mengenyam pendidikan. bahkan di salah satu media Youtube Gibran mengakui bahwa keluarganya tidak memiliki budaya membaca. Ini menjadi sebuah kondisi yang kontradiktif dengan perjalanan sejarah Indonesia.
      Perlawanan terhadap Kolonialisme ditempuh dengan perlawanan perang oleh rakyat bahkan disebut hingga ratusan tahun lamanya berjuang mengusir negara kolonial Belanda. Namun, yang menjadi puncak perjuangan adalah perlawanan oleh para intelektual yang mengutamakan diplomasi dan persatuan untuk mencapai cita-cita yaitu Merdeka. Berlanjut sebagai sebuah peradaban yang katanya Modern, malah saat ini Indonesia dikuasai oleh pihak-pihak yang tidak dekat dengan pendidikan. Bahkan Presiden Prabowo lebih cenderung dinaungi oleh isu negatif yaitu dugaan keterlibatan dalam banyak kasus pelanggaran HAM. Gibran anak muda yang dicitrakan sebagai sosok yang santai dan mengikuti tren yang sedang berkembang dikalangan anak muda bahkan lebih spesifik pada generasi Z.
      Dalam hal ini saya menangkap bahwasanya kekuasaan pada awal kemerdekaan terakumulasi dari perjuangan dan intelektualitas. Perjuangan yang saya maksud adalah mereka yang ikut terlibat aktif dalam memperjuangkan cita-cita kemerdekaan dengan terjun bertahan-tahun dalam jalan perlawanan dan yang selanjutnya Intelektualitas bahwa semua sosok yang muncul diawal kemerdekaan Indonesia adalah sosok-sosok yang memiliki buah pikir yang radikal dan memiliki reputasi akan pendidikan yang baik. Mungkin kita sulit membayangkan apabila diantara kita mendapat momentum seperti Soekarno dkk dalam berhadap-hadapan dengan kolonial. Mereka dituntut memiliki argumentasi yang jelas dan rasional untuk dapat dipercaya oleh masyarakat pribumi, karena sepanjang perjuangan yang dilakukan Soekarno dkk selalu dilabeli sebagai biang keributan dan perusuh saja. Para tokoh-tokoh tersebut berjuang mempersiapkan narasi argumentasi yang dapat meyakinkan masyarakat dan dunia internasional.
      Saat ini setelah menjalani kenikmatan kedaulatan Indonesia ternyata kekuasaan diakumulasi dari modal kapital dan pemengaruh (Influencer). Dua faktor penting tersebut menjadi senjata wajib yang dimiliki para kandidat penguasa, bahkan sudah berkembang dengan diwajibkan memiliki "Gimmick" dengan tujuan mendapat perhatian oleh media sosial. Saya juga tidak menuduh hanya satu pihak yang melakukan hal tersebut, namun mayoritas melakukan formulasi itu untuk berkontestasi. Bukan tanpa alasan karena bukti keberhasilan dari formulasi tersebut sudah terjadi dibanyak tempat, fenomena pendekatan formulasi politik oleh para kandidat ini sangat berbahaya bagi pemerintahan yang akan mereka jalankan.
      Formulasi pemenangan dengan melakukan pendekatan viralisasi atau mengandalkan Gimmick Politik semata berlangsung secara masif pada pilkada kali ini. Hampir semua paslon melakukan tindakan semacam itu, merekrut para pemengaruh untuk ikut mendukung dan mengkampanyekan secara udara. Tindakan semacam ini sangat jarang diakui sebagai hubungan professional antara pemengaruh dan pihak yang membayar untuk didukung. Para pemengaruh selalu menekankan bahwa kandidat yang mereka dukung berasal dari hati nurani, tindakan ketidakjujuran tersebut amat sangat lumrah terjadi. Biaya kampanye yang harus dilaporkan oleh kontestan baik dari partai politik maupun kandidat perorangan terhadap KPU dilakukan dengan manipulatif.
      Kandidat intelektual mungkin sudah tidak lagi menjadi perhatian masyarakat karena media sosial yang masif, namun jalan untuk tetap membawa karakter politik Indonesia yang penuh argumentasi intelektual tetap dapat diperjuangkan. Dan yang perlu ditegaskan bahwa intelektualitas adalah ide, gagasan, karya, dan rekam jejak bukan ditandai dengan ijazah atau surat keterangan pendidikan semata. Praktek akademik Indonesia juga penuh daya tipu menipu, banyak pejabat yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi dengan membeli Ijazah atau membayar joki akademik untuk melaksanakan kegiatan akademis. Semisal yang sedang hangat diperbincangkan adalah salah satu menteri yang lulus program studi doktoral di kampus terbaik di Indonesia yang menempuh waktu pendidikan hanya dua tahun, tetapi pada akhirnya kelulusan menteri tersebut ditangguhkan karena telah menjadi perhatian publik yang cukup serius. Sehingga saya menekankan bahwa pemimpin yang memiliki gagasan dan ide adalah tujuan kita untuk dapat sesegera mungkin membawa kita pada gerbang cita-cita Indonesia.
      Kesimpulan saya bahwa pertarungan politik adalah pertarungan gagasan atau ide, yang kemudian realitasnya bergeser ke pertarungan antara penipu dengan penipu saja. Pilpres 2024 tidak akan merubah apapun, Pileg 2024 tidak akan merubah apapun, dan Pilkada 2024 juga tidak akan merubah apapun. Maksud saya adalah perubahan dari keadaan yang buruk akan menjadi lebih baik sangat mustahil terjadi karena produk kontestasi yang telah usai dilahirkan dari proses dan mekanisme tipu menipu di semua aspek. Seruan dukungan terhadap pemerintah hanya akan membuat para penipu tersebut dengan leluasa menjalankan rencana busuk saja, oleh karena itu tugas masyarakat semakin berat karena harus memonitoring para penipu tersebut setiap saat. Hari ini Pilkada berlangsung dan para elit nasional berupaya menghegemoni daerah-daerah dengan turun langsung memberikan dukungan. Karena periodisasi yang sukses adalah periodisasi yang saling melindungi dan saling mendukung bukan yang saling mengoreksi satu sama lain dengan orientasi perubahan. "gajah seberat tujuh ton dapat habis sekejab oleh ribuan cacing yang beratnya tidak lebih dari satu gram, Indonesia juga dapat runtuh oleh segelintir manusia penjahat yang dipuja-puja oleh karena itu rawatlah pikiranmu setiap saat agar tipu daya para elit dan penipu tidak lagi mampu membelenggu. Sesungguhnya kemerdekaan yang sebentar-benarnya adalah kedaulatan untuk berpikir".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H