Suatu ketika dalam perdebatan terjadi dalam sebuah organisasi mengenai siapa yang paling pantas untuk memimpin, para anggota organisasi tersebut sibuk berdebat dalam menentukan apa tolak ukur atau parameter yang dapat menjadikan seseorang itu pantas dan layak untuk mempin.
Muncul dua sosok anak muda yang bersaing untuk memimpin yang pertama bernama pangarep dan yang kedua bernama etes. Pangarep berasal dari keluarga yang sangat mempuni secara pendidikan, kekuatan politik dan finansial akan tetapi, banyak pihak menanggapnya belum layak memimpin karena baru saja dua hari bergabung menjadi anggota.
Sedangkan Etes adalah sosok yang berasal dari keluarga yang sulit secara finansial dan tingkat pendidikan yang rendah, Ayah Etes adalah seorang begajulan yang hidup dari idealism sehingga sulit membiayai keluarganya.
Bahkan, ayah Etes berulang kali bangkrut saat menjalankan usahanya. Etes memiliki keunggulan sedari dini sudah mengikuti organisasi dan berproses dengan sangat baik bahkan jenjang karirnya di organisasi sangat runut.
Para anggota pendukung Pangarep bersikeraas karena Ayah dari Pangarep berjanji akan memberikan segalanya untuk organisasi tersebut asalkan anaknya memimpin.
Sedangkan Etes tidak memiliki kekuatan finansial atau dukungan politik dari tokoh akan tetapi dia dianggap memiliki kapasistas dengan segala proses yang dilaluinya.
Kisah diatas yang saya paparkan menunjukan dua jalan yang berbeda dari dua sosok Pangarep dan Etes. Pangarep diuntungkan dari segala yang dimilikinya yang merupakan hasil kerja ayahnya, pengaruh tersebut amat nyata disuntikan dalam kedirian Pangarep sehingga dia mendapat banyak dukungan dari orang-orang yang mendapat penghidupan dari ayah Pangarep. Sedangkan Etes tidak mendapatkan suntikan pengaruh dari siapapun, ayah yang begajulan dan ibu yang sederhana mengikuti hidup ayahnya yang tidak jelas. Mungkin banyak diantara kita melihat kondisi Etes ini sangatlah malang yang berhadapan sosok Pangarep. Namun pada Akhirnya Eteslah yang memenangkan kontestasi tersebut karena umumnya anggota organisasi tersebut memiliki IQ diatas rata-rata nasional negara tersebut.
Mungkin banyak diantara kita melihat hasil dari pertarungan tersebut tidak masuk akal, namun hal tersebut bisa kita rasakan karena konstruksi berpikir kita melihat fenomena yang sebaliknya terjadi di Indonesia hari ini. Kakek Mochtar Lubis dengan gamblang menunjukan sifat manusia Indonesia yang sering ABS (Asal Bapak Senang), ini lah yang memicu pada akhirnya situasi yang kita saksikan bertolak belakang dari kejadian diatas. Selanjutnya manusia Indonesia Hipokrit atau munafik, sulit menyatakan apa yang kemudian dirasakan atau dipikirkan, banyak menimbang karena apabila salah ucap atau salah ucapan bisa-bisa mengancam piring nasi.
Persoalan inilah yang mungkin kita tidak pahami kapan akan berakhir karena penyakit hipokrit sepertinya menular dengan cepat dengan doktrin dan ancaman yang memunculkan ketakutan.
Saya adalah orang yang sangat optimis ketika Jokowi membawa jargon "revolusi mental" pada periode pertama saat dirinya berupaya melawan Prabowo pada 2014 silam, akan tetapi ternyata Jokowi tidak benar-benar memberikan semangat itu ketika dirinya dipercaya untuk memimpin.
Revolusi mental itu hanya omong kosong belaka bagi saya, karena di titik ini dirinya membantu lawannya dulu untuk menjadi Presiden hari ini. bagi saya penting kita memiliki sikap dalam memandang lawan, karena semua kandidat dalam kontestasi menganggap dirinyalah yang lebih baik dari pesaingnya apalagi pertarungan tersebut 2 kali terjadi.