Dunia Internasional bukanlah dunia yang kecil. Anggota PBB berjumlah sekitar 196 negara, dengan penduduk dunia hampir 7 dan 8 milliar. Dunia Internasional seharusnya bisa lebih kompak dalam bersikap terhadap negara yang melanggar hukum internasional, seperti hukum HAM dan perang. Sayang, hal ini kurang terlihat untuk negara Israel. Terletak di Timur Tengah, negara dengan penduduk hanya 8 juta ini berhasil melampaui semua hukum internasional dalam tindakannya di Gaza, Lebanon, dan Suriah. Dengan pembantaian yang sudah membunuh puluhan ribu orang, negara ini masih dapat berfungsi layaknya negara pada umumnya.
TIndakan Israel di Palestina sudah ditentang sejak lama, tetapi nampaknya dunia Arab dan Internasional sudah menyerah. Israel sekarang punya lebih banyak sekutu di dunia Arab daripada 30 tahun lalu. Sebut saja Maroko, Mesir, Â Yordania, dan Uni Emirat Arab (UEA). Â Pemerintah negara-negara tersebut tetap mempertahankan hubungan diplomatik dan perdagangan di tengah perang Gaza. Bahkan, beberapa negara mulai melarang pembahasan Isu Palestina di dalam negeri, seperti UEA . Dalam hal bantuan, negara Arab sudah tidak memberikan bantuan militer, melainkan hanya memberikan bantuan kemanusiaan terbatas. Prosedurnya juga mengikuti arahan Amerika dan Israel, seperti menerjunkan bantuan dari udara. Dibandingkan bantuan Darat (truk), bantuan Udara lebih mahal dan jauh lebih sedikit dalam hal tonase.
Aktivisme masyarakat dunia memunculkan harapan bagi Gaza. Banyak Generasi Z terutama di belahan dunia Barat yang sadar akan tindakan Israel. Salah satu contohnya adalah college encampment, menuntut berbagai universitas di Amerika melepas ikatan dari universitas di ISrael dan Israel itu sendiri. Â Tekanan Universitas seperti ini mengingatkan dunia akan atmosfer Perang Vietnam pada kurun waktu 1960-1970. Pada waktu itu, banyak orang yang memprotes tindakan Amerika mengirim para tentara ke Vietnam yang dianggap mengirimkan para orang amerika ke suatu jagal pembantaian. Â Para Mahasiswa juga turut ikut serta, dengan menbangun berbagai tenda di depan halaman Universitas. Tetapi kali ini tidak hanya di Amerika saja, melainkan di berbagai belahan dunia seperti di Eropa.Â
Patut disayangkan, aksi tersebut tidak banyak merubah kondisi kritis yang terjadi di Gaza. Israel berulang kali melakukan pembantaian baik melalui serangan udara dan serangan darat. Evakuasi paksa menjadi model yang sering disaksikan, dimana suatu daerah dibersihkan dari penduduk sipil. Seringkali cara ini dilakukan dengan mengepung berbagai institusi penting, contohnya rumah sakit, agar para penduduk kesulitan mendapatkan bantuan ketika ada serangan, sehingga Israel mengharapkan para penduduk segera pindah ke daerah lain. Ketika Israel mengepung dari berbagai sisi, rakyat sipil hanya punya 2 pilihan, yaitu tinggal di zona perang atau menjadi salah satu dari jutaan orang yang tertumpuk di daerah kecil, contohnya Al Mawasi di Gaza Tengah. Jika terjebak di daerah perang, Israel tidak mengenal ampun. Mereka menganggap semua dari mereka adalah bagian dari teroris dan memilih menculik dan menahan mereka. Banyak dari mereka merasa bangga melakukannya dengan mengunggahnya di sosial media..
Sanksi juga masih sangat lemah. Sanksi terhadap Israel kebanyakan dilakukan sukarela oleh masyarakat sipil melalui gerakan BDS. Gerakan ini konsisten memperbarui daftar brand/merek dan orang-orang yang harus diboikot. Karena sukarela, gerakan ini cenderung lebih lemah dari sanksi pemerintah dan bergantung pada komitmen warga sipil. Efeknya juga cukup lama, dimana merek yang diboikot diharapkan penjualannya menurun lalu akan mengakhiri penjualan di suatu negara/wilayah. Dibandingkan dengan sanksi Rusia ketika Invasi Ukraina dimana negara-negara Barat mencoba memutuskan koneksi Rusia dari mereka dengan sanksi menyeluruh. Bahkan organisasi olahraga dan olimpiade juga segera melarang Rusia berpartisipasi. Â Untuk sanksi individu saja, banyak negara keberatan memberlakukannya kepada penduduk Israel yang sudah mempromosikan kejahatannya. Fifa berulang kali menunda keputusan terkait sanksi kepada Israel setelah 1 tahun invasi Gaza berlangsung. Padahal bukti sudah sangat banyak dan berlimpah yang dikumpulkan berbagai lembaga sipil dan individu di berbagai media sosial. Salah satunya adalah Jurnalis Palestina yaitu Hassan Tirawi yang sudah mengidentifikasi nama, akun,serta pangkat berbagai tentara Israel yang mengunggah media terkait Gaza.
Tekanan dari dalam negeri Israel juga tidak bisa diharapkan. Baik spektrum kiri atau kanan di Politik Israel cenderung merayakan apa yang selama ini dilakukan oleh tentara Israel. Bahkan ketika banyak foto penderitaan warga Palestina, mereka mengelak dan terus mengulang-ulang mengenai peristiwa di 7 Oktober, meskipun warga-warga sipil tersebut sama sekali tidak terlibat dan tidak berperan. Aktivis kemanusiaan Israel juga menganggap Israel melakukan pelanggaran Ham secara terpaksa. Jadi, kesalahan tetap ditimpakan ke masyarakat Palestina. Sangat sedikit warga Israel yang bertobat seperti Ilan Pappe yang menyadari kesalahan negaranya. Mereka mengkritik negaranya hanya terkait masalah internal, hampir tidak pernah terkait perlakuan tentaranya  ke Palestina dan negara  Timur Tengah lainnya.
Dunia Internasional perlu membentuk koalisi internasional yang kuat untuk menekan dan memaksa Israel untuk menghentikan invasinya ke Gaza. Sanksi ekonomi dan isolasi internasional perlu diperkuat. Tekanan militer dan koalisi militer seperti saat AS invasi Irak pada 2003 perlu dipertimbangkan. Tekanan diplomatik dan aktivisme terbukti tidak terlalu efektif untuk menekan tindakan Israel yang semakin lama tidak terkendali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H