Berkelahi menjaga gengsi.
Siang bolong di hari Selasa, 8 Oktober 2024. Gang-gang kecil yang menjalar melalui area residensial di Tebet sedang sepi-sepinya karena terik mentari. Keadaan yang sangat cocok untuk tidur siang, tetapi tidak untuk AAP dan MAA. Saat sekolah masih berlangsung, mungkin pada saat jam istirahat, mereka menyelinap ke Gang Sepak Bola. Mereka menuju ke sana untuk satu tujuan. Berawal dari tantangan, mereka bertujuan 'menjaga' martabat dengan berkelahi, atau gengsi. Pada akhirnya, AAP mengalami luka lebam dan gegar otak (Farisi et al., 2024). Â Kasus-kasus seperti ini kerap dikenal sebagai 'partai,' aksi duel satu-lawan-satu yang dilakukan oleh anak sekolah, biasanya SMA.Â
Ada kasus serupa lain yang terjadi hanya 2 hari setelah kasus di Tebet, lebih tepatnya terjadi pada tanggal 10 Oktober 2024. Kali ini, siswa SMK yang berkelahi dengan siswa SMP. Bedanya, kasus ini berakhir fatal dengan satu pelajar meninggal dunia. Dalam kasus ini, kedua kubu, masing-masing berisi dua orang, sudah berencana melakukan aksi perkelahian sejak hari sebelumnya, via media sosial (Rachmawati, 2024).
Sebagai gambaran, perkelahian partai umumnya dilakukan pelajar dengan alasan utama 'menjaga martabat.' Setelah seorang siswa ditantang oleh siswa lain, mereka akan melakukan perjanjian untuk berkelahi satu lawan satu dan tanpa senjata di tempat yang terpencil untuk melakukan sparing atau berkelahi fisik. Berbagai hal dapat dijadikan dalil untuk memulai perkelahian partai -- Mulai dari pergesekan antarsekolah, dendam pribadi, saling adu kuat, bahkan melakukannya sekedar untuk hiburan.Â
Kejadian-kejadian ini ironis. Sekolah yang tujuannya mendidik dan mengembangkan minat-bakat siswa malah menjadi kandang bagi pertumbuhan sifat suka berkelahi. Saat seorang siswa seharusnya di kelas belajar untuk masa depan, mereka malah melakukan hal yang tidak membangun. Mungkin keinginan untuk melakukan perkelahian tidak ditanamkan di sekolah, tetapi seyogyanya, sekolah seharusnya memberikan pendidikan mengenai hal-hal seperti itu.Â
Tradisi yang berbahaya, tetapi BISA dihalau.
Partai sudah menjelma menjadi tradisi, walaupun buruk, milik anak sekolah sejak awal abad ke-21, dengan akar yang dapat dilacak sampai tawuran massal antarsekolah. Tentunya, tradisi ini patut dihapuskan karena tidak mencerminkan pembentukan karakter siswa yang seharusnya terjadi di sekolah. Penghapusan itu sudah terjadi dan masih dilakukan oleh banyak polsek, seperti yang dilakukan Bhinkamtibmas Pasar Minggu di SMP Kemala Bhayangkari pada bulan Februari tahun ini (Polda Metro Jaya, 2024). Namun, seperti kasus yang sedang dibahas, masih sering ditemukan siswa-siswa yang lolos dari radar sekolah dan orangtua.
Di SMA Kolese Kanisius, meskipun seluruh murid adalah laki-laki, perkelahian partai sudah jarang terjadi. Hal ini adalah dampak langsung dari model pendidikan yang diberikan, mulai dari sosialisasi hingga tindak disipliner yang keras untuk pelanggar. Tindak disipliner mulai ditegakkan dengan lebih serius setelah kehadiran Campus Ministry pada jajaran direksi sekolah, membantu kemoderatoran (Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan) agar dapat bekerja dengan lebih efektif. Dampaknya, siswa menjadi lebih bertanggung jawab atas keselamatan diri sendiri dan orang lain. Selain itu, pembuktian gengsi antarmurid mulai bergeser dari perkelahian fisik menjadi nilai akademis dan pencapaian non-akademis. Hal ini baik karena mampu membentuk persaingan yang lebih sehat sekaligus meningkatkan minat belajar dan prestasi seluruh murid.Â
Keringat dan darah yang sia-sia.
Gengsi atau martabat yang dijaga melalui perkelahian adalah pemikiran yang sangat kuno. Hal demikian selayaknya berlaku saat manusia masih menaati hukum rimba, siapa yang kuat akan bertahan. Di dalam dunia modern, hukum rimba sudah tidak berlaku secara harfiah lagi. Masyarakat butuh figur yang berkontribusi untuk perkembangan umat manusia, bukan hanya figur yang kuat secara fisik. Konflik akan berujung pengamanan oleh aparat, dan tidak membuahkan apa-apa bagi masyarakat secara luas. Bagaikan upaya menjaring awan, seorang yang berkelahi demi gengsi dan menjaga martabat diri sendiri hanya akan berakhir dengan jaring yang kosong, tanpa kontribusi dan menyusahkan orang lain.
Kendati demikian, ada faktor yang mungkin menjelaskan nekatnya siswa dalam melakukan perkelahian seperti ini -- Keadaan emosional tidak seimbang dan minimnya pengendalian diri yang dimiliki oleh remaja. Dalam kedua contoh kasus, pihak yang terlibat adalah siswa dalam usia remaja. Pada riset yang meneliti kemarahan dan kekerasan pada remaja, ditemukan bahwa keadaan marah dan kepercayaan irasional akan seringkali dihadapi oleh remaja dengan kekerasan fisik serta verbal (Fives et al., 2024).Â