Mohon tunggu...
Timothy Fredrik
Timothy Fredrik Mohon Tunggu... -

lelaki tulen, just that

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pedagang Kaki Lima di Daerah Ibukota

6 November 2014   05:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:30 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_372953" align="aligncenter" width="630" caption="Jembatan penyebrangan orang di Halte Transjakarta UKI Cawang dipenuhi pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di atasnya. Minggu (24/11/2013). (Kompas.com/Robertus Belarminus)"][/caption]

Di televisi saya melihat sekarang sedang banyak dibahas mengenai pedagang kaki lima yang berjualan di daerah sekitar ibukota, tepatnya di daerah sekitar jembatan penyebrangan daerah Sudirman, Semanggi, dan sekitarnya, dimana hal itu pada hukumnya tidak diperbolehkan. Tadinya, saya tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut, karena saya sendiri pun adalah seorang mahasiswa biasa, yang kebetulan juga suka menikmati jajanan kaki lima yang tersedia di jembatan penyebrangan. Namun permasalahan ini mulai menggugah hati saya saat saya menonton berita tentang kasus ini, dan secara tidak sengaja saya melihat penjual otak-otak yang menjadi langganan saya diwawancarai oleh salah satu televisi nasional kemarin, dan kalimat yang paling saya ingat dari tukang otak-otak tersebut adalah: "saya disini juga julalan cari makan, bukan buat cari kaya".

Buat saya, kalimat yang dilontarkan penjual otak-otak itu bisa dijadikan cerminan pada para aparat keamanan, atau bahkan para pejabat yang memerintah di DKI Jakarta sekalipun, untuk mengambil kebijakan terkait permasalahan ini. Kalau berpikir secara logika, yang pertama kita pikirkan adalah tentu saja, pokok permasalahan dari kasus ini. Dan hal itu tentu sudah jelas, mereka berjualan di jembatan penyebrangan di daerah pusat ibukota, karena memang tidak ada lagi tempat bagi mereka untuk berjualan. Namun pertanyaan yang lain muncul: "Apakah ketiadaan tempat itu salah mereka, para PKL?" Menurut saya, tidak.

Saya rasa terlalu rasanya kalau kita menyalahkan mereka atas masalah ketiadaan tempat untuk berjualan, apalagi kalau sampai mereka diusir dan ditangkap aparat keamanan karena berjualan di tempat yang illegal. Mereka pun saya rasa tidak mau berjualan di jembatan penyebrangan kalau mereka bisa. Dan kalau mau berpikir lebih jauh, kalau bisa, mereka juga tidak mau jadi PKL. Mereka akhirnya menjadi PKL karena memang tidak ada cara lain untuk menghidupi keluarga mereka dan diri mereka sendiri. Lagipula, PKL bukanlah tindakan kriminal saya rasa. Toh, mereka berusaha dengan keringat mereka sendiri. Mereka tidak memaksa kita membeli dagangan mereka. Mereka hanya butuh "makan". Dan PKL lah pekerjaan yang paling memungkinkan bagi mereka, supaya mereka bisa makan. Jadi buat saya, menangkap, apalagi menindak mereka dengan tindakan hukum, adalah perbuatan yang kurang bijak.

Para PKL juga jelas mau kalau mereka bisa untuk berjualan di tempat yang legal. Mereka tahu apa yang mereka lakukan salah, tapi karena himpitan ekonomi, mereka terpaksa melakukan ini semua. Mengenai "tempat yang legal", saya senang saat membaca artikel tentang Ahok yang mau mengusahakan tempat bagi para PKL. Bisa Anda baca beritanya di http: //ahok.org/berita/news/basuki-pertimbangkan-saham-jiexpo-ditukar-lahan-untuk-pedagang/. Saya harap hal itu bisa segera terealisasikan. Saya tidak terlalu perduli kalau karena itu, penjual otak-otak yang jadi langganan saya akhirnya pindah, yang penting beliau dan para PKL lain memiliki tempat yang layak untuk berjualan.

Saya harap ke depannya, Jakarta bisa lebih tertib dan teratur. Semua pihak, dari kaum pelajar, karyawan, miskin, kaya, bahkan para pejabat, bisa melihat dan menikmati Jakarta yang lebih tertib dan teratur. Semoga yang ada di atas, tetap mau melihat dan membantu yang bawah, sedangkan yang bawah, terus berusaha untuk merangkak ke atas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun