Warungnya sendiri terletak di antara Jalan Mampang Prapatan XIV dan XIII yang kini menjadi bangunan Yayasan Madrasah Sa'adutdarain. Catatan kedua ada dalam buku 212 Asal Usul Djakarta Tempo Doeloe karya Zaenuddin HM.
Disitu tertulis bahwa nama Jalan Warung Buncit bukan berasal dari julukan. Melainkan nama pemilik warung berwarga Tionghoa, yakni Tan Boen Tjit.
Ditambahkan oleh sejarawan JJ Rizal, Tan Boen Tjit adalah pemilik warung yang murah hati terhadap warga pribumi. Maka itu, sebagai bentuk penghargaan warga disana menyematkan namanya sebagai nama jalan.
Sementara versi ketiga diceritakan oleh budayawan Betawi Kita, Yahya Andi Saputra. Katanya nama Warung Buncit berasal dari bahasa betawi arkais (kuno).
Kata 'warung' adalah tempat istirahat atau tempat atur strategi dan 'buncit' berarti yang paling belakang. Jadi maksudnya 'warung buncit' adalah tempat paling belakang untuk konsentrasi pasukan dalam pengepungan kastil Batavia.
Dengan catatan fakta sejarah tadi apa yang dilakukan Anies adalah bentuk pembelokan sejarah yang Dengan sengaja dilakukan untuk tujuan Politis menyenangkan segelintir pihak tertentu Dan menyengsarakan mayoritas  masyarakat sekitarnya.
Alangkah bijaknya bila Anies mencari tahu lebih dulu latar belakang dibalik nama Jalan Warung Buncit itu sendiri. Terlebih bila kita berkaca dari catatan sejarah yang kedua, terbersit kisah harmonisasi antar etnis didalamnya.
Tan Boen Tjit memang bukan sosok pahlawan. Akan tetapi berkat sikapnya yang tidak memandang ras, terciptalah keakraban, kerukunan, dan sikap mau bertoleransi dengan sesama.
Oleh karena itu, sebaiknya Anies berhati-hati dalam mengganti nama jalan. Jangan sampai menghapus bahkan merusak sejarah yang ada.
Terlepas dari soal sejarah, ada perkara penting lain yang perlu Anies ketahui terkait perubahan nama jalan tersebut. Yakni membuat masyarakat sengsara.
Kenapa begitu? Jelas hal itu membuat KTP (Kartu Tanda Penduduk) masyarakat yang berlokasi di Jalan Warung Buncit harus berubah.