Kebanyakan orang beranggapan bahwa wedang ronde merupakan sajian khas dari Jawa Tengah. Padahal kenyataannya tidak demikian.
Wedang ronde merupakan hidangan yang menggabungkan dua kebudayaan, Â Tiongkok dan Indonesia. Di era Dinasti Ming, sajian ini dinamai yuanxiao.
Akan tetapi sang kaisar, Yuan Shikai yang memerintah pada 1912-1916 tak menyukainya lantaran pengucapannya bermakna seperti kata singkirkan Yuan. Maka itu diganti dan hingga kini dikenal dengan sebutan tangyuan atau tangtuan dibagian Tiongkok Selatan.
Alih-alih menggunakan nama tangyuan, di Indonesia hidangan ini disebut rondje saat masa penjajahan Belanda. Hal itu dikarenakan penyebutannya lebih mudah.
Dalam bahasa Belanda, rondje berasal dari kata rond yang bermakna bulat. Dan imbuhan 'je' bermakna jamak, seperti halnya kata boontjes atau buncis.
Baik wedang ronde maupun tangyuan, keduanya dibuat dari tepung ketan dan bertekstur lengket. Hanya saja wedang ronde disajikan dengan kuah jahe manis, sementara tangyuan bersama kuah manis atau kuah daging.
Sajian tersebut merupakan simbol untuk mempererat hubungan kekeluargaan. Bentuknya yang bulat dimaknai sebagai keharmonisan, persatuan, dan keutuhan keluarga.
Sementara teksturnya yang lengket menandai ikatan persaudaraan. Dan kuah manis sebagai hubungan antar keluarga yang manis pula.
Ronde juga melambangkan keseimbangan alam, Yin dan Yang. Untuk memaknainya, Tiongkok memiliki perayaannya tersendiri, yakni Perayaan Onde atau Festival Dongzhi.
Konon, Perayaan Onde di Tiongkok telah ada sejak Dunasti Han (206 SM - 220 SM). Tradisi ini juga masih rutin dirayakan oleh warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Indonesia.