Idul Fitri adalah hari spesial bagi umat muslim. Peristiwa itu kerap dijadikan momentum silahturahmi dan saling memaafkan satu sama lain.
Nuansa Idul Fitri yang penuh kehangatan tidak hanya dirasakan oleh penganut agama Islam. Suasana itu turut dinikmati oleh masyarakat non muslim, termasuk suku lain seperti Tionghoa.
Mereka semua saling berbaur dan larut dalam keharmonisan. Sikap seperti ini, sebetulnya bukan hal baru dan tabu di Indonesia.
Terlebih jika kita berkaca pada jejak historis negara ini, yang memang sudah hidup dalam keberagaman etnis dan ras sejak zaman nenek moyang. Bagaimana tidak, para penjelajah Tionghoa saja sudah mulai berdatangan ke Indonesia sekitar abad ke-4 hingga ke-7 Masehi.
Pada era saat ini, bukti nyata keharmonisan etnis Tionghoa dengan umat muslim juga bisa kita lihat pada akulturasi budaya yang tercipta. Salah satunya tradisi 'Prepegan' di Kota Semarang.
Prepegan adalah tradisi belanja untuk memenuhi kebutuhan perayaan hari raya Idul Fitri. Dimana warga berbondong-bondong ke pasar untuk berbelanja berbagai keperluan.
Aktivitas yang sama juga terjadi saat perayaan tahun baru Imlek akan tiba. Tradisi itu bernama Jie Kao Meh.
Bentuk akulturasi lainnya adalah menu makanan khas Betawi saat lebaran yang sudah langka, yakni sayur babanci. Sayur ini mirip lontong sayur karena warnanya kuning kemerahan dengan isian ketupat, daging sandung lamur, dan kelapa muda.
Konon hidangan itu hanya disajikan oleh warga peranakan Betawi Tionghoa. Oleh karena itu, nama babanci sendiri merupakan akronim dari kata 'babah dan enci'.
Di Kota Muntok, Bangka Barat, bukti keharmonisan Tionghoa dan muslim ditunjukkan lewat tempat ibadah yang berdampingan. Yakni Kelenteng Kong Fuk Miau dan Masjid Jami.