Indonesia tengah mengalami kasus kelangkaan dan mahalnya minyak goreng. Kedengarannya sepele, akan tetapi kasus ini sangat mencekik kantong banyak lapisan masyarakat.
Baik para pelaku pasar tradisional, peritel modern, hingga penjual makanan dan konsumen. Apalagi mengingat status Indonesia sebagai negara lumbung sawit, sehingga bisa menjadi crude palm oil (CPO) terbesar di dunia, rasanya sungguh ironis dan kontras.
Sebetulnya persoalan ini mulai mencuat di akhir 2021. Dimana harga minyak goreng bermerek mulai merangkak naik, namun belum terjadi kelangkaan.
Pihak pemerintah melalui Kementerian Perdagangan menyampaikan bila kondisi itu terjadi karena kenaikan harga CPO internasional dan penurunan panen sawit pada semester ke-2. Dikatakan bahwa tren kenaikan CPO sendiri telah terjadi sejak Mei 2020.
Disamping itu, faktor lainnya adalah gangguan logistik seperti pengurangan jumlah kontainer dan kapal karena pandemi Covid-19.
Tak berhenti sampai disitu, Menteri Perdagangan (Mendag), Muhammad Lutfi, beralasan bahwa lonjakan harga lantaran adanya invasi Rusia terhadap Ukraina. Akibatnya stok minyak bunga matahari terhambat dan mereka beralih ke CPO.
Otomatis harga naik karena meningkatnya permintaan. Menyoal kelangkaan yang terjadi, Mendag Lutfi menyatakan karena distribusi minyak goreng yang tidak sesuai mekanisme pasar.
Ditambah lagi adanya oknum yang menjual minyak goreng secara ilegal keluar negeri. Padahal sebelumnya ia sempat sesumbar soal banyaknya stok minyak goreng yang dimiliki pemerintah dari hasil penerapan kebijakan DMO (domestic market obligation) dan DPO (domestic price obligation).
Sebelum membuat kebijakan Kemendag sebaiknya berpikir matang. Penerapan berbagai kebijakan nyatanya tak satupun efektif, malah membuat masyarakat tampak seperti kelinci percobaan.
Maksudnya pasca aturan HET (harga eceran tertinggi) dicabut hingga dilepasnya aturan DMO dan DPO, barulah pasokan minyak goreng membludak dipasaran. Sayang harganya jadi tidak karuan.
Gonta-ganti kebijakan ini pula menunjukkan ketidaktegasan Kemendag dalam menangani masalah. Sebaiknya Kemendag sensitif terhadap hal-hal seperti ini.