Ukiran bertuliskan huruf mandarin pun terpahat di banyak sisi kelenteng. Wihara Dharma Bhakti kian historikal karena memiliki patung Dewi Kwan Im berusia sekitar 300 tahun.
Meski pernah terbakar akibat korsleting listrik empat tahun silam, pesona Wihara Dharma Bhakti seakan tak lekang oleh waktu. Kelenteng ini tetap ramai didatangi orang, baik mereka yang ingin sembahyang ataupun para pelancong lokal dan asing.
Selain kelenteng tadi, nuansa Tionghoa di Glodok juga berada di titik lain. Misalnya di Gang Gloria yang banyak menyajikan hidangan non-halal berbahan dasar daging babi.
Tidak jauh dari situ ada Pasar Petak Sembilan yang menyediakan beragam peralatan ibadah bagi umat Budha dan Konghucu. Ornamen khas Tionghoa seperti lampion merah pun terpajang rapi di Pasar Petak Sembilan.
Ada pula resto Pantjoran Tea House bergaya oriental. Selaras dengan arsitekturnya, teh dan menu peranakan Tionghoa menambah nilai jual resto tersebut.
2. Tangerang
Tak jauh berbeda dari Jakarta, di Tangerang juga terdapat wihara tua bernama Boen Tek Bio. Wihara yang berlokasi di Jalan Bhakti No. 14 ini, diperkirakan dibangun tahun 1684 oleh seorang tuan tanah.
Aksesori di kelenteng, diyakini banyak menggunakan barang yang diimpor langsung dari Tiongkok. Misal, lonceng dibagian muka kelenteng dibuat oleh perusahaan pengecoran bernama Ban Coan Lou tahun 1835.
Selain itu, ada pula singa batu yang dalam bahasa mandarin disebut cioh sai dibuat pada tahun 1827. Ketika abad ke-18, tepatnya tahun 1844, Wihara Boen Tek Bio sempat dipugar habis-habisan.
Dalam merenovasinya pun didatangkan ahli bangunan langsung dari Tiongkok. Sehingga bangunan yang semula hanya berbentuk seperti rumah menjadi layaknya kelenteng pada umumnya.
Di kawasan tersebut, juga terdapat rumah mendiang Oey Kim Tiang yang merupakan seorang penulis cerita silat. Arsitektur rumahnya pun masih bergaya peranakan Tionghoa.