Seni budaya main pukulan atau pencak silat, diperkirakan telah hidup sejak abad ke-16. Di masa itu, silat senantiasa disuguhkan saat pesta perkawinan ataupun khitanan.
Pencak Silat memang amat erat kaitannya dengan etnis Betawi. Tetapi silat tidaklah murni lahir dari satu suku tersebut, melainkan pencampuran berbagai etnis yang lebih dulu hidup di Jakarta. Mulai dari orang Sunda, Bali, Ambon, Sumbawa, Jawa, hingga etnis Melayu, Arab, dan Tionghoa.
Baca juga: Cerita Silat Kho Ping Hoo, Sarana Belajar dan Bikin Kecanduan
Dari keberagaman itulah kebudayaan pencak silat hadir dan namanya melegenda hingga kini. Alirannya pun sangat beranekaragam, salah satunya adalah Silat Beksi.
Silat Beksi merupakan seni bela diri hasil kombinasi dua kebudayaan antara Indonesia dan Tiongkok. Menurut peneliti silat, G.J.Nawi, beksi atau be shi berasal dari bahasa Hokkien yang berarti kuda-kuda.
Aliran itu ditemukan oleh seorang keturunan Tionghoa bernama Lie Tjeng Hok. Ia mulai mengembangkan Silat Beksi dari daerahnya di Kampung Dadap, Tangerang.
Baca juga: Gerakan Dasar Bela Diri Pencak Silat
Agar kebudayaan Beksi makin dikenal dan bisa tetap hidup, Tjeng Hok tak lupa untuk mewariskan kepada keturunannya. Mereka adalah Lie Tong San selaku anak dan sang cucu, Lie Gie Tong.
Menariknya lagi, ternyata Tjeng Hok turut menurunkan ilmu tadi kepada murid sekaligus pegawainya bernama Ki Marhali. Alasannya lantaran kerap kali Tjeng Hok memergoki sang pegawai berlatih Beksi sendiri.
Dan ia pun mengajari Marhali hingga bisa menjadi pesilat jago dan terkenal. Hal itu rupanya terdengar oleh H. Ghozali dari Petukangan, Jakarta Selatan yang penasaran akan kehebatan Marhali.