Mohon tunggu...
Sony Kusumo
Sony Kusumo Mohon Tunggu... Insinyur - Menuju Indonesia Surplus

Sony Kusumo merupakan pengusaha yang peduli dengan kemajuan bangsa Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sejarah Glodok bagi Warga Keturunan Tionghoa

25 Juli 2019   18:55 Diperbarui: 25 Juli 2019   19:05 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sesungguhnya Indonesia bukanlah negara tujuan para pengelana asal Tionghoa pada dulu kala. Hanya saja moda transportasi laut di masa itu sangat mengandalkan arah mata angin.

Sehingga mengharuskan mereka menunggu selama enam bulan sampai arah mata angin berbalik. Penantian ini yang membuat warga Tionghoa mulai banyak berinteraksi dengan warga lokal dan jatuh cinta pada Nusantara.

Kedatangan mereka sudah terjadi sejak kongsi dagang Hindia Belanda, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) membangun Batavia. Lambat laun kehadiran mereka ternyata dianggap sebagai sumber masalah sosial oleh orang-orang Belanda.

Puncaknya kekesalan VOC kepada warga Tionghoa terjadi saat tragedi berdarah pada Oktober 1740. Dimana kala itu dilakukan pembunuhan orang-orang Tionghoa dalam jumlah masif oleh para serdadu Belanda.

Setelahnya warga Tionghoa dipusatkan di satu kawasan di Batavia yang bernama Glodok. Peradaban warga Tionghoa di Glodok juga ditandai dengan berdirinya Vihara Dharma Bhakti, Jalan Kemenangan III, Petak Sembilan, Jakarta Barat.

Demi bertahan hidup, disana etnis Tionghoa memilih untuk berprofesi sebagai pedagang. Saking ulungnya dalam berjualan, pada era penjajahan Belanda, mereka mampu menguasai perdagangan sampai 35,4 persen.

Bahkan citra etnis Tionghoa yang hebat dalam berdagang pun masih melekat hingga kini. Sebetulnya hal itu turut dipicu oleh kebijakan pemerintah Belanda.

Dimana orang-orang Tionghoa tak diperbolehkan untuk memiliki tanah, menjadi pegawai negeri atau pemerintahan, hingga berkebun dan bercocok tanam. Maka mereka hanya terfokus pada jenis usaha yang diizinkan, yakni berdagang.

Selama lebih dari dua ratus tahun, Glodok menjadi sentra perdagangan. Ya, inilah kawasan pecinan yang juga merupakan salah satu urat nadi perekonomian Jakarta.

Kendati dihuni warga Tionghoa, kata Glodok sendiri bukanlah berasal dari bahasa Tiongkok. Dalam buku bertajuk Betawi Queen of the East karangan Alwi Shahab tertulis bahwa kata Glodok bermula dari air yang berbunyi glodok-glodok atau grojok-grojok.

Sementara dalam buku Asal-Usul Nama Tempat di Jakarta yang diterbitkan Pemprov DKI Jakarta disebutkan, pengucapan kata grojok berubah menjadi Glodok karena lidah warga Tionghoa. Mereka kesulitan untuk mengucapkan grojok.

Oleh : Sony Kusumo

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun