Â
Baru-baru ini, kita telah dihebohkan dengan adanya kasus Rafael Alun Trisambodo (RAT), pejabat eselon III DJP Kementerian Keuangan RI. Menurut pengamat pajak Fajry Akbar dari Center for Indonesian Taxation Analysis (CITA) bahwa ini merupakan kejadian penting kedua yang paling parah setelah kasus Gayus Tambunan pada tahun 2010 yang merusak kepercayaan publik terhadap Kementerian Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Pajak.
Bahkan, seruan boikot meluas dan tagar stop bayar pajak yang viral di media sosial. Hal ini merupakan respon atas temuan-temuan bahwa pegawai pajak (RAT) menyembunyikan harta dan tidak patuh membayar pajak. Karena itu sejumlah Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi mengatakan "Jujur, makin malas, pegawainya saja enggak lapor."
Bagaimana jika banyak wajib pajak tidak melaporkan pajak? Tentunya akan berdampak pada menurunnya penerimaan pajak. Namun,  hingga 31 Maret 2023 tercatat sebanyak 12,01Wajib Pajak sudah melaporkan SPT (Surat Pemberitahuan) yang terdiri dari 11,68 juta Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi  dan 333 ribu Wajib Pajak (WP) Badan, jumlah ini meningkat 3,13% dibandingkan Tahun 2021. Â
Jadi, haruskah kita membayar pajak? Ya, karena pajak merupakan iuran wajib bagi orang pribadi maupun badan yang dipungut berdasarkan undang-undang dan bersifat memaksa. Hal penting yang harus kita ketahui bahwa uang pajak yang dibayarkan oleh masyarakat akan langsung masuk ke kas negara, sehingga jika ada uang pajak yang hilang "tentunya berasal dari wajib pajak dan oknum pegawai pajak yang melakukan kongkalikong"Â ujar Sri Mulyani.
Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan penerimaan pajak, tetapi masih adanya temuan tindakan atau praktik penghindaran pajak dimana wajib pajak melakukan penghindaran pajak secara legal (tax avoidance), maupun secara ilegal (tax evasion). Secara legal artinya, wajib pajak melakukan penghindaran pajak dengan cara memanfaatkan celah hukum.
Sebagai contoh, oknum pemilik usaha yang tidak mau membayar PPh (Pajak Penghasilan) kerap memanfaatkan keringanan pajak atau fasilitas yang diberikan PP No 23 Tahun 2018 kepada UMKM. Seperti kita ketahui bersama, kebijakan ini hanya mewajibkan para pelaku UMKM untuk membayar pajak penghasilan dengan tarif 0,5% dari omzet usahanya. Nah, oknum jahat dapat memanfaatkan fasilitas ini dengan memecah laporan keuangan badan usaha dan usaha pribadi sehingga total omzetnya kurang dari Rp. 4,8 miliar.
Sementara secara ilegal (tax evasion) adalah ketika wajib pajak melakukan tindakan secara melawan hukum untuk mencoba mengurangi jumlah pajak yang terutang atau tidak membayar pajak sama sekali. Praktik penghindaran pajak atau penggalapan pajak seperti yang dilakukan oleh RAT dan kasus penghindaran pajak lainnyaÂ
Seperti kasus penghindaran pajak pada tahun 2014, KPK menemukan sekitar 4.000 dari 12.000 perusahaan tidak memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), sehingga perusahaan tidak dapat melaksanakan kewajiban pajaknya. Hal ini sangat berpotensi menurunkan penerimaan negara dari sektor pajak. Terdapat perusahaan yang melakukan penggelapan pajak (tax evasion) pada tahun 2019 dengan menggunakan transfer pricing ke anak perusahaan di Singapura.Â
Sebanyak 80% kasus yang ditangani DJP melibatkan faktur pajak palsu. Penghindaran pajak dengan cara mendirikan badan usaha baru dan memindahkan aset, hutang, dan modal kepada badan usaha baru tersebut sehingga dapat mengurangi jumlah pajaknya.
Selain itu, Indonesia memiliki tax ratio jauh dibawah target. Artinya, masih terdapat kebocoran pajak yang disebabkan oleh wajib pajak yang berusaha menghindari pembayaran pajak seperti yang dilakukan oleh RAT. Hingga sekarang ini, kasus penghindaran pajak masih banyak ditemui dan sangat berpotensi untuk terjadi terus menerus, bahkan akan muncul Rafael-Rafael baru dimasa mendatang jika tidak adanya tindakan pencegahan yang baik.